12. Kecelakaan

82 23 11
                                    

Mimpi Juan tentang burung merpati yang bicara padanya terputus saat beban berat menindihnya tanpa aba-aba. Lelaki itu mengerang dan sedikit terbatuk.

"Ju? Eh! Sorry-sorry!" Suara Reina terdengar panik saat akhirnya perempuan itu sadar sudah jatuh menimpa lelaki itu. "Nggak sengaja," kata Reina yang kini terdengar agak geli.

Juan membuka mata dan melirik Reina yang sudah duduk di sampingnya sambil menahan tawa.

"Gila lo! Udah gede masih gelinding aja pas tidur," gerutu Juan kesal.

"Hahahaha! Sori," sekali lagi Reina meminta maaf, tapi kini tidak lagi menyembunyikan tawanya. "Udah-udah. Bobok lagi, gih. Ini masih jam tiga!"

"Kampret lo!" Sungut Juan, mengubah posisi tidurnya menjadi miring.

Reina tidak bergerak dari posisinya selama beberapa saat, memerhatikan sosok Juan dalam diam sebelum bangkit menuju jendela untuk melihat ke arah kamarnya. Jendela sudah dibuka lagi. 'Pasti papa,' pikir Reina.

Karena masih enggan untuk pulang, dan tidak lagi merasa mengantuk, Reina pun mengendap-endap memperhatikan detil kamar Juan. Sudah tidak ada lagi foto cewek pakai bikini, atau pahlawan super seperti Superman atau Ironman. Kebanyakan justru hanya buku-buku yang disusun rapi pada rak yang menempel di dinding kamar.

Tentu saja kebanyakan dari buku yang Juan baca bertema tentang kesehatan, tapi Reina tertarik pada tumpukan kertas yang disusun rapi di bagian bawah lemari.

"Ngapain Si Juan ngoleksi soal UTS dan UAS?" Guman Reina bingung, mengambil salah satu dari sekian banyak kertas itu untuk di teliti. "Anjirr... Kertas soal ujian jaman SMA lagi!" Reina menahan tawa geli. Perempuan itu sama sekali tidak habis pikir mengapa Juan menyimpan sampah seperti ini.

Reina mengambil lebih banyak, memeriksa tahun-tahun di kertas ujian itu hingga tidak sengaja menjatuhkan beberapa lembar ke lantai. Rasa geli Reina menghilang saat mengenali tulisan tangannya di belakang kertas soal ujian itu. Reina kembali membacanya, tiba-tiba teringat kalau dulu dia sangat senang menulis cerita. Setiap ujian berlangsung, setiap dia selesai mengerjakan soal, belakang kertas soalnya selalu menjadi wadah bagi imajinasi Reina.

Genre romance, angst, fantasi, horor, petualangan... Reina menulis banyak, tapi tulisan-tulisan itu sudah lama menghilang dari hidup Reina. Jadi, kenapa sekarang ada disini?

Reina ingat, dia pernah menunjukkan hasil karangannya pada Sindi dan Juan. Mereka tampak antusias, selalu menagih kelanjutan cerita Reina yang sudah selesai mereka baca. Lalu, apa yang terjadi setelah itu?

Pelan-pelan, Reina mengembalikan kertas soal ujian itu kembali ke tempatnya. Perasaan Reina tiba-tiba menjadi berat karena kesedihan yang tiba-tiba muncul. Entah kenapa air matanya merebak, dan Reina mati-matian menahan tangis sambil membatu di posisinya.

###

Saat bangun, Juan menyadari kalau Reina sudah kembali ke rumahnya sendiri. Lelaki itu tanpa membuang waktu segera bangkit untuk memulai harinya dengan bekerja.

Aroma roti panggang yang asing sempat membuat Juan menelengkan kepalanya heran. Apakah mama atau papanya sedang ada di rumah? Kalau benar, tumben sekali mereka memasak?

Setelah merapikan diri, Juan memeriksa kembali isi tas kerjanya lalu keluar dari kamar. Lelaki itu kaget saat melihat Reina dan Sindi ada di dapur rumahnya.

"Daftar jadi isteri Sumanto, sana!" Sindi menyibirkan bibir ke arah Reina dengan tangan yang menyobek roti panggang sebelum masuk ke mulut. Reina sendiri sedang bergelut di depan kompor, entah masak apa.

"Nanti masak sop iga, ya? Iga lo tapi," sahut Reina, masih belum menyadari kedatangan Juan andai Sindi tidak menyapa duluan.

"Morning," ucap Sindi, melambai kecil ke arahnya. Reina menoleh dan tersenyum ke arah Juan, mengikuti Sindi untuk mengucapkan selamat pagi.

"Kok ada tamu nggak diundang? Dua lagi?" Juan pura-pura bodoh.

"Kita berdua kasihan sama bujang rumah ini yang nggak pernah ngerasain sarapan," sahut Sindi yang langsung disambut umpatan oleh Juan meski lelaki itu duduk di kursi kosong untuk bergabung.

"Dikulkas nggak ada apa-apa yang bisa di masak, anjir. Percuma punya kulkas gede tapi isinya air doang!" Reina mengomel pada si tuan rumah.

"Dirumah jarang ada orang, Anjir... Nanti malah buang-buang makanan. Mending beli di luar, sekali makan langsung habis," balas Juan.

"Coba dengerin bujangan satu ini. Kasihan, nggak ada yang ngurus, ckckckck!" Sindi menyahut sok prihatin.

"Lo juga sama aja, Cok!" Juan mengingatkan.

"Udah waktunya lo nikah, Ju!" Timpal Reina, menaruh sop ayam yang sejak tadi di buatnya ke tengah meja makan.

"Njir, masa gue di suruh nikah sama orang yang gagal nikah?" Protes Juan yang membuat Sindi tertawa geli.

"Gagal nikah gue nggak ada hubungannya sama lo, ya? Bisa jadi lo lebih beruntung dari gue!" Balas Reina agak sensi.

"Ya lo berdua aja yang nikah, kenapa?" Sahut Sindi memberi saran.

"Gila, apa?" Juan melotot.

"Big No!" Jawab Reina. "Gue ogah nikah sama dokter, ya! Nanti dikit-dikit di cerewetin soal kesehatan! Kata orang, tuh, dokter nikahnya sama dokter!"

"Wah, ternyata gue nggak dianggap sebagai manusia biasa, nih? Bisa-bisanya lo ngomong gitu?" Balas Juan, cemberut.

"Alay, deh!" Reina mendengus.

"Kenapa lo pikir kita nggak nganggep lo manusia?" Sindi bertanya sambil mengambil telur dadar goreng, masakan Reina yang lain.

"Ya lo nganggep dokter bakal tetep jadi dokter kalo di luar rumah sakit. Terus, nggak punya pilihan lain selain nikah sama temen seprofesi. Kayak manusia jenis lain, kan?" Juan ikut menyendok nasi ke piringnya. "Gue juga manusia, kali. Nggak akan gue kerja 24 jam! Apalagi nikah sama orang yang nggak gue pengin!"

"Anjayyy..." Reina tertawa mendengar prinsip Juan. "Budak korporat kayak lo mending pasang bendera putih, Sin!"

"Salut gue sama lo, Ju!" Sindi bertepuk tangan, tapi Juan justru merasa perempuan itu ikut meledeknya bersama Reina.

"Emang kalian mau nikah sama orang seprofesi kalian? Walaupun kalian nggak cinta sama orang itu?" Juan bertanya, agak menantang.

"Kata orang, mah, yang penting dalam pernikahan itu rasa nyaman, bukan cinta," jawab Sindi, sok bijak.

"Lah? Kata siapa gue mau nikah?" Sahut Reina, santai.

"Emang orang kayak lo tuh, nggak seharusnya nyuruh orang buru-buru nikah!" Desis Juan, menyipitkan mata kesal ke arah Reina. Perempuan itu balas menjulurkan lidah mengejek tanpa mengatakan apa-apa lagi.

###

Juan melirik ponselnya yang berbunyi nyaring, nama Reina sempat membuyarkan konsentrasinya yang sedang mendiagnosis seorang pasien. Karena dering yang lama, akhirnya Juan meminta ijin sebentar untuk mengangkat telepon itu.

"Ya, Re? Gue lagi ada pasien, nih."

"Ju... " Suara Reina yang menangis keras tak terkendali membuat Juan langsung panik.

"Heh! Lo kenapa?" Juan merasa tak berdaya karena posisinya yang sedang dinas, sementara dia tidak pernah mendengar Reina menangis seperti itu.

"Sapu kecelakaan. Gue harus gimana?" Pertanyaan bodoh Reina itu langsung membuat Juan merasa lega. Ternyata perempuan itu hanya sedang panik.

"Dibawa ke rumah sakit mana? Gue susul nanti," sahut Juan berjanji.

"Panti Rapih," jawab Reina. "Kalo Sapu kenapa-napa gimana?"

"Lo tenangin diri lo dulu. Sapu pasti udah di tanganin dokter. Tunggu gue di sana, oke?"

###

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Chaotic DuoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang