Bab III

28.2K 2.4K 256
                                    

Udara malam menyusup masuk melalui celah piyamaku. Aku melipat tangan di depan dada sambil mengigil. Sempoyongan, aku menyusuri jalan aspal komplek menggunakan sendal pinjaman. Untungnya, satpam yang menemukanku di lapangan berbaik hati meminjamkanku sendal jepit. Lebih beruntung lagi, aku tidak ditangkap satpam itu, lolos dengan alasan yang aku karang secara dadakan.

Ketika satpam itu memergokiku berada di lapangan pada tengah malam, dia hampir mencurigaiku sebagai maling. Pentungan kayu di tangannya siap digunakan. Namun setelah melihatku hanya mengenakan piyama tanpa beralas kaki, satpam itu menggaruk-garuk kepalanya dengan heran. Aku menjelaskan kepadanya bahwa aku mempunyai penyakit aneh dan sulit dihentikan, yaitu berjalan sambil tidur. Dengan tatapan memelas, aku meyakinkan bahwa barusan penyakitku kambuh, mengakibatkan aku berkeliaran dari rumahku dengan kondisi tertidur. Rupanya si satpam mempercayai ceritaku, berubah mengasihani aku karena penyakit aneh yang kuidap.

Satpam itu, yang mengenalkan diri sebagai Pak Supri, menawariku untuk menunggu di pos satpam hingga pagi tiba. Aku berbohong; mengatakan bahwa jarak rumahku sangat dekat dari lapangan dan meyakinkan dia untuk tidak mengantarku. Nyatanya jarak lapangan ini ke komplekku cukup jauh. Selama kira-kira sepuluh menit aku berjalan sambil mengusap telapak tangan dan hidung, menahan dingin, serta menahan ingus agar tidak turun. Diiringi dengan bersin beberapa kali, aku mengutuk kedua laki-laki tidak waras itu, terutama laki-laki bermasker bernama Alto yang menculikku.

Kupencet bel rumah, menunggu kira-kira sepuluh menit hingga seseorang terbangun dan membukakan pintu depan. Bila ayahku atau ibuku, alih-alih kakakku, yang membukakan pintu, aku pasti sudah disemprot habis-habisan. Kakakku yang mengantuk hanya menggerutu, berkata aku sudah gila karena berkeliaran di luar rumah pada jam begini. Kemudian dia masuk lagi ke kamarnya tanpa berkomentar lebih jauh.

Kulihat jam di dinding ruang keluarga dengan tatapan merana: pukul dua lewat tiga puluh lima menit. Setelah bersin lima kali berturut-turut dan mengumpat tanpa suara, aku menuju kamar tidurku. Aku sungguh-sungguh butuh kasur.

Lampu kamar tidurku ditinggal dalam keadaan mati. Sesampai di tepi pintu, hembusan angin sepoi-sepoi menyambutku. Jendela kamar tidurku terbuka lebar. Alto pasti menculikku lewat sana tadi, membopongku diam-diam selagi aku tidur.

Aku meraba dinding untuk menekan sakelar lampu di dekat pintu, nyaris menjerit setelahnya. Lampu kamar menyala dan memperlihatkan si laki-laki bermasker, Alto, sedang berdiri di sudut kamarku. Dia bersandar pada dinding dengan sikap bosan, kedua tangan terlipat di dada.

"Kau lama sekali. Aku sudah menunggumu dari tadi," ujar Alto.

Rasanya kepalaku mau meledak. Aku memekik, "Dasar gila! Teganya kau meninggalkan aku di tempat tadi! Kenapa kau tidak membawaku sekalian kalau kau berencana kembali lagi ke sini?"

"Bukan urusanku." Alto beranjak dari posisinya, melangkah ke arahku.

Aku cepat-cepat mengambil tindakan defensif dengan mencari benda terdekat. Di balik pintu, ada sapu lidi yang biasa kugunakan untuk menepuk-nepuk kasur. Aku meraih sapu lidi, mengacungkannya di depan badan sebagai penghalau.

"Kenapa kau mengikutiku?" desisku.

"Aku datang untuk mengambil fragmen kunci. Aku tahu kau menyimpannya karena sinyal keberadaannya berasal tepat dari rumahmu. Katakan, di mana kau menyembunyikannya?"

"Lagi-lagi fragmen kunci, sudah kubilang aku tidak mengerti benda apa itu! Sekarang pergi dari sini atau aku akan memanggil pol--"

Aku tidak sempat menyelesaikan kalimatku karena Alto tiba-tiba sudah mendekat dan membekap mulutku. Saking kagetnya, sapu lidi di tanganku terjatuh ke lantai.

"Jangan berisik. Jangan libatkan orang lain. Beritahu aku dan kau akan selamat," ancam Alto.

"Mmmph...!" Aku memberontak dalam bekapan tangan Alto; mencoba untuk menarik lengannya kuat-kuat, tapi tidak berhasil. Dia jauh lebih kuat, usahaku untuk lepas darinya tidak berdampak sedikitpun. Melihatku yang mulai sesak napas, Alto pun melepaskan bekapannya.

Tujuh Kelana (Novel - Tamat) [Wattys Award Winner]Where stories live. Discover now