Anne terduduk di pinggir ranjang dengan tangan yang menggenggam erat benda kecil di tangannya. Sebuah test pack. Anne masih merasa semuanya hanya mimpi, makanya dia terus berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Meski hasilnya memang tetap saja sama.
Jujur saja, Anne tidak tahu ini akan jadi hal yang baik atau tidak. Dia impulsif melakukan semua ini tanpa memberitahu Ezra lebih dulu. Saat malam itu, sebenarnya Anne memang berbohong pada Lucio. Dia ingin melihat reaksinya lebih dulu.
Sialnya, tiga hari setelahnya, Anne merasa ada yang aneh dengan dirinya sendiri. Ternyata perkataannya pada Lucio berubah menjadi kenyataan. Masalahnya Anne tidak tahu harus melakukan apa sebab tidak melihat Lucio melakukan pergerakan apa pun.
Ancaman Lucio hari itu membuatnya waswas dan jadi semakin sering menghubungi Ezra. Sejauh ini tidak ada hal yang aneh terjadi. Tidak ada seorang pun yang menggangu Ezra. Hidupnya masih baik-baik saja. Namun, itu justru terasa mengganjal baginya. Anne malah curiga Lucio sedang merencanakan hal lain yang lebih besar. Entah apa pun itu, pasti tidak akan baik untuknya.
Lamunan menenggelamkannya terlalu jauh sampai tidak sadar ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya. Anne baru sadar saat pandangannya menangkap sepasang kaki di hadapannya. Dia mendongak dan seketika melotot mendapati siapa sosok yang berdiri di depannya.
"Ngapain kamu di sini?!" Anne langsung berdiri sambil menyembunyikan test pack di belakang tubuhnya. Dia melirik bergantian pada pintu kamarnya yang tertutup kemudian pada sosok di hadapannya. Tidak habis pikir bagaimana bisa Lucio datang kemari.
"Oh, calm down, honey," ujar Lucio dengan manis kemudian meletakkan sesuatu di atas nakas. Sepertinya sebuah kotak makan. "Aku cuma bawain makan siang buat kamu. Aku udah izin juga kok sama Papa kamu." Lucio dengan santai duduk di tepi ranjang kemudian menariknya hingga mereka duduk bersisian.
Anne kembali melotot saat Lucio menarik tangannya dan berusaha merebut test pack-nya.
"Balikin!" Anne berteriak sambil berusaha merebut test pack itu kembali. Meski tidak berhasil. Dia menghela napas kasar dan membiarkan saja pada akhirnya. Sampai akhirnya terdengar Lucio yang tertawa pelan.
"Aku pikir kamu bohong loh, sayang." Anne mendelik mendengar ucapan tenang Lucio. Berbanding terbalik dengan kelakuannya yang kemudian melempar test pack itu pada tempat sampah di pojok kamar.
"Berapa usia kandungannya?"
"Don't touch me!" Ann menyingkirkan tangan Lucio yang mencoba menyentuh perutnya. Sialnya, lelaki itu malah tertawa.
"Astaga, ibu hamil emang selalu sensi gini ya kayaknya," ujar Lucio dengan ringan. Sementara Anne kembali mendelik dan berusaha duduk menjauh. Meski lagi-lagi gagal karena Lucio menyadari itu kemudian malah menariknya untuk duduk di atas pangkuannya.
"Lepasin gak?!" Anne berusaha memberontak dengan memukul bahu lelaki itu berulang kali.
"Sshhh jangan ribut dong. Nanti kalau kamu jatuh terus baby-nya kenapa-napa gimana hm?"
Sialan. Anne ingin sekali meninju wajah Lucio yang kini memasang ekspresi sok peduli. Lelaki itu sepertinya amnesia bahwa beberapa hari lalu pernah mengancam akan membunuh bayinya.
"Aku berubah pikiran, sayang." Anne berusaha menghindar saat Lucio terlihat ingin menyentuh wajahnya. Lelaki itu kembali tertawa kemudian menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
"Aku gak akan bunuh Ezra." Anne refleks menatap Lucio. Dia bisa melihat senyum tipis di wajah lelaki itu. "... and the baby too," lanjut Lucio sambil mengelus perutnya berulang kali. Anne ingin sekali menyingkirkan itu, tapi dia tiba-tiba merasa sulit bergerak. Tatapan Lucio seakan menguncinya sehingga dia tidak bisa melakukan apa pun.

YOU ARE READING
Limerence
Fanfiction[n.] the state of being infatuated or obsessed with another person, typically experienced involuntarily and characterized by a strong desire for reciprocation of one's feelings but not primarily for a sexual relationship. *** Katanya, jodoh itu...