Prolog

35.9K 1.1K 19
                                    

Judith menunduk tanpa sekalipun berani menatap mata Ayahnya, sebisa mungkin dia hanya mengangguk dan tidak membantah. Telinganya terasa berdenging, setiap perkataan yang keluar dari mulut Ayahnya sudah tidak bisa dia tangkap dengan baik. Yang Judith pikirkan hanyalah mengiyakan tanpa berani untuk melawan.

Dia tahu pria itu sudah merawatnya dengan sangat baik, dan sekarang mungkin sudah saatnya untuk dia membalas budi. Meskipun dalam keluarga hal itu terdengar janggal, tapi dalam keluarga Judith Abigail Sullivan hal seperti itu berlaku. Ibunya selalu mengajarkan kalau suatu saat dirinya akan menjadi seorang gadis, dan menjadi wanita dengan seorang pria yang akan dipilihkan oleh Ayahnya.

Ingatan Judith melayang pada masa di mana Ibunya masih hidup, wanita yang telah melahirkannya itu sering menceritakan kisah turun menurun dari Kakek buyutnya, Ibunya mengaku menikahi Ayah Judith karena dijodohkan, awalnya dia tidak bisa mencintai dan menerima suaminya. Tapi Ibu Judith mengaku kalau dia tidak memiliki pilihan lain, orang tuanya pasti akan membuangnya jika dia tidak bersikap patuh.

Meskipun pernah diperingatkan kalau hal seperti itu juga akan menimpanya, tapi Judith tidak pernah menyangka kalau rasanya akan se-tidak nyaman ini. Dia tidak bisa membayangkan kalau dirinya harus hidup dengan pria lain selain Ayahnya.

"Abbie, apa kau mendengarkanku?" Mr. Sullivan bertanya sambil menyentuh pundak anaknya.

"Aku mendengarkanmu, Dad," Judith mendongak sambil berusaha menampilkan senyum terbaiknya, dia harus berpura-pura dan bersikap seolah dirinya bisa menerima keputusan Ayahnya dengan baik. "Dan tolong berhentilah memanggilku dengan sebutan Abbie, aku sudah besar!" dia mengoreksi panggilan sang Ayah, meskipun Judith tahu kalau laki-laki itu tidak pernah mau mendengarkan permintaannya tersebut.

"Bagiku kau tetap bayi kecilku Abbie," Mr. Sullivan tidak menghiraukan protes anaknya. "Aku harap kau bersiap-siap, besok kau akan bertemu dengan calon Suamimu."

Judith menarik napas berat untuk menenangkan detak jantungnya, dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Semuanya terlalu cepat, tapi dia tidak mungkin mengutarakan pendapatnya di hadapan sang Ayah. Karena bagi laki-laki itu, dirinya adalah seorang anak lemah yang harus menurut. Padahal jauh di dalam diri Judith dia telah menyimpan rahasia yang tidak diketahui siapapaun... Kecuali Luke.

Judith hanya mengangguk patuh sebelum meninggalkan ruangan, setelah dia berhasil menutup pintu. Judith berlari untuk menemui pengawal pribadinya.

***

Sementara itu setelah melihat Judith keluar, Mr. Sullivan menarik napas berat. Dia mengambil photo mendiang Istrinya yang diletakan di atas meja, rambut keemasan wanita yang ada dalam gambar tersebut persis seperti yang dimiliki Judith, warna matanya yang biru menurun pada putrinya.

"Aku harap kau bisa memaafkan aku karena sudah memberikan Putri kita pada bajingan itu," Mr. Sullivan menatap gambar wajah yang tengah tersenyum itu dengan pandangan sedih. "Aku mencintaimu, Amy," bisiknya sambil membawa pigura itu mendekat ke pelukannya.

Saat dia sedang menikmati kesendirian sambil mengenal mendiang istrinya, seseorang menelpon dan membuatnya kembali menjadi pria keras yang tidak berperasaan. "Ya Ramsey, ada apa?" Dia menjawab panggilan telpon dari orang yang sangat dia percaya.

"Sir, ada Mr. Howard datang berkunjung," jawab pria bernama Ramsey dari sebrang sana.

"Antar dia ke gedung sebelah, aku tidak ingin mengambil resiko pria itu bertemu Abbie sebelum waktunya."

"Yes, Sir," jawab Ramsey sebelum menutup telpon.

Mr. Sullivan menatap photo mendiang Istrinya untuk yang terakhir kali, dia mengusap wajah yang ada di gambar sambil berkata. "Aku harus menemui bajingan beruntung yang akan menikahi Putri kecil kita, sayang."

Lalu dia mengembalikan photo tersebut ke tempatnya, Mr. Sullivan bergegas melewati aula yang mengarah ke bangunan sebelah, dia melewati lorong yang menghubungkan rumah dan bangunan yang biasa digunakan untuk menjamu rekan kerja. Begitu dia sampai di ruang kerja utama, seorang pria berbadan tegap tersenyum sadis ke arahnya.

"Aku harap kau tidak melupakan janjimu."

Suara pria itu terdengar kasar dan mengintimidasi, dan itu menjadi pengingat bagi Mr. Sullivan bahwa dia tidak akan bisa mundur lagi, putri kecilnya tidak bisa dia selamatkan dari pria yang ada di hadapannya tersebut.

"Ya, aku tidak lupa," dia berusaha menjawab dengan suara tenang. Meskipun hati kecilnya merasa ngeri kalau mendiang istrinya akan bangkit dari kubur dan membunuhnya. Dia sudah menyerahkan putri kecil mereka pada pria kejam.

Maafkan aku Istriku.

Wedding Conspiracy [Conspiracy Series #1]Where stories live. Discover now