Diselimuti Kegelapan (c)

3.1K 190 2
                                    

"Aku baik-baik saja." Kilahku lagi.

"Kalau nggak mau cerita juga nggak apa, deh.. Aku nggak bisa maksa juga kan?" Tantri menyesap minumannya, dan kembali beralih kepadaku, "Tapi kamu harus ingat, Na.. Ada kami yang sayang sama kamu."

Aku tersenyum tulus kepadanya, "Syukron.."

"Afwan, lama!"

Aniqo muncul dari belakangku dengan senyum cerianya, "Tadi toiletnya lumayan penuh." Jelasnya lagi. Ia duduk di sebelahku lalu membuka tasnya, "Ini kitab Syarah Bulughul Mahrom (kitab hadits) yang kamu butuhin kan, Na?" Ia menyerahkan kitab yang begitu tebal ke arahku.

Aku menerimanya dengan tersenyum lebar, "Ih, makasih yah, Cin! Seneng deh aku jadi bisa irit uang."

Kami menghabiskan waktu makan siang kami dengan berbagi cerita. Mulai dari kesulitanku dalam belajar, Persiapan pernikahan Tantri, Aniqo yang turut membantu kakak laki-lakinya untuk membenahi rumah dan mendekorasinya sedemikian rupa untuk acara walimah.

Rencananya, akad nikah antara Tantri dan Mas Ikhsan akan diadakan di rumah Tantri dengan dihadiri orang-orang terdekat saja.

Setelah akad nikah selesai, mempelai pria akan kembali ke rumahnya dan memulai acara walimah dengan dihadiri para undangan dari kaum pria.

Sementara itu, rumah Tantri akan menjadi tempat walimah para undangan kaum wanita.

Acara walimah akan selesai sebelum Maghrib, dan kemudian Tantri akan diboyong ke rumah suaminya.

"Kamu datang pagi-pagi yah, Na.. Sebelum akad nikah." Ujar Tantri kemudian.

"Lho.. Kenapa begitu? Walimah kan ba'da dzuhur.."

"Memangnya kamu nggak mau dengar kakak aku ngucapin ijab qobul yah, Na?" Sahut Aniqo kemudian.

"Sebenarnya aku ingin ditemani kedua sahabat aku saat detik-detik terakhir.." Ujar Tantri lagi sembari tersenyum menatap kami berdua dengan bergantian.

"Detik-detik terakhir apa?" Tanyaku polos.

"Sebelum jadi istri orang, Na! Ngerti sendiri, lah.." Sambung Aniqo.

Aku dan Aniqo tertawa terbahak begitu melihat perubahan di wajah Tantri menjadi bersemu.

"Ciiee... Yang mau jadi istri orang!"

"Na.. Apaan sih?!" sungutnya malu-malu.

--- *** ---

"Ngapain kamu di sini?" Tanyaku sinis pada Daniel yang berdiri di halaman rumahku.

Ia tampak begitu arogan dengan gaya dan tingkahnya.

"Menunggumu.."

Menghela nafasku, aku mengabaikannya dan melangkah begitu saja memasuki rumahku.

"Sudah bertemu Daniel?" Papa duduk di ruang tamu dengan santai. Ia sama sekali tak mengalihkan pandangannya padaku. Masih menekuni lembaran demi lembaran koran di tangannya.

Aku menghentikan langkahku, "Sudah, Pa.."

"Temani Daniel makan malam di luar." Titah Papa dingin.

"A.. Aapa?"

Papa meletakkan kaca mata bacanya ke meja. Melipat korannya begitu saja dan kemudian menatapku tanpa ekspresi. "Kamu tahu Papa tidak suka mengulang-ngulang kalimat."

"Dan Papa tahu aku nggak suka pergi sama Daniel!" Tekanku kemudian, dengan rasa kesal yang menghantam dadaku. Membuatnya kembali sesak.

"Ganti bajumu dengan baju yang pantas! Tidak ada penolakkan!" Papa meninggalkanku begitu saja yang hanya mampu menatap kepergiannya dengan nanar.

"Sepuluh menit, Angelina.." Suara Daniel membuatku mengalihkan pandanganku padanya. Menatapnya dengan segenap kebencian yang menggerogoti hatiku.

Daniel nampak tenang. Wajahnya menyeringai menatapku sembari bersandar pada dinding. Melipat kedua tangannya di depan dadanya.

"Dimulai dari sekarang!" Ujarnya kemudian sembari menatap jam tangannya yang mahal.

"Aku membencimu!" Desisku penuh penekanan.

Mengangkat kedua bahunya, ia berkata dengan santai, "Aku tidak perduli."

***

Beberapa hari ini seperti mimpi buruk bagiku.

Papa tidak mengijinkanku bekerja. Ia sudah mulai memberiku uang saku bulanan dan mengirimkannya ke tabunganku.

Memintaku untuk selalu pulang sebelum makan malam.

Terlihat membaik memang..

Tapi itu semua karena ada makhluk yang entah bagaimana ia bisa terus bertahan di sisiku.

Bukan sebagai energi positif. Melainkan sebaliknya.

Aku membencinya.

Dan entah karena hal apa, aku dapat melihat bahwa ia pun membenciku.

Daniel.

Pria itu bersikap manis di hadapan kedua orang tuaku.

Tapi begitu dingin, arogan, dan ketus, saat bersamaku.

Kami dijodohkan.

Itu adalah berita terburuk yang pernah ada dalam hidupku.

Aku tak punya pilihan. Dan meskipun tak ingin, aku rasa Daniel pun tak punya pilihan.

Dia menungguku di rumah saat sekembaliku di kampus, dan itu berlangsung hampir setiap hari dalam minggu ini.

Kadangnya kami makan malam di luar rumah. Dan itupun hanya keheningan yang menemani kami.

Ia tidak memperdulikanku, dan akupun demikian.

Dan jika Mamah meminta kami untuk makan malam di rumah, semua berbincang dengan hangat. Penuh canda dan tawa. Sementara aku hanya terus menutup telingaku rapat-rapat.

Berusaha menyelesaikan makananku dengan segera dan kembali ke kamarku.

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang