Part 4

171 79 0
                                    

Seminggu pun berlalu. Sejak Gustaf meninggalkan Deus, Deus tetap bersi keras untuk menunaikan amanat yang telah di berikan.

Dalam waktu seminggu itu pula, Deus tetap meneliti Sungai Landak yang di amanatkan oleh ayahnya. Ia sudah mencoba bertanya pada penduduk sekitar.

Tetapi yang di dapat hanya lah omongan, "Itu mustahil nak."

"Kau tidak akan bisa menemukannya."

"Itu hanya mitos bocah. Selama ini banyak yang mengincarnya, tapi mereka memutuskan untuk berhenti di tengah jalan."

Omongan seperti itu sudah sangat sering di terima oleh pendengaran Deus. Dan omongan itu ia jadikan pacuan untuk lebih semangat dan giat dalam mencari Patung Landak emas yang di maksud.

--

Deus duduk termenung di emperan toko. Ia masih bingung harus bagaimana lagi cara mndapatkan petunjuk untuk menemukan patung tersebut.

"Apa benar aku harus berhenti?" gumam Deus.

Deus menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kasar. Ia mengacak rambut hitam tebalnya dengan frustasi.

Dalam seminggu ini pun ia menumpang menginap di rumah warga. Sebagai imbalannya Deus akan membantu para Petani untuk bekerja di ladang.

Tak jarang pula ia mendapatkan sedikit uang dari hasil membantu para Petani. Dan dalam seminggu itu pula Deus tidak pernah melihat Gustaf sama sekali.

Jujur, semenjak pertengkarannya itu Deus merasa bersalah. Ia ingin bertemu dengan Gustaf dan meminta maaf perihal omongannya itu. Tapi sudah terlambat.

Sepertinya sekarang Gustaf membenci Deus karena ia tidak mau mendengarkan omongan kakaknya itu. Ya benar, Gustaf dan Deus hanya berbeda beberapa bulan saja.

--

Pemuda itu sedang berjalan-jalan. Melihat pemandangan desa yang masih bisa di bilang asri. Pemuda itu menyirit bingung ketika melihat seseorang yang sedang berjalan kaki beberapa meter di depannya dengan lemas.

Dengan rasa yang penasaran pun pemuda itu pun menghampirinya.

"Permisi?" tanyanya.

Seseorang yang diajak berbicara pun menoleh ke arahnya.

"Ya?"

"Kakak kenapa?" tanya pemuda itu.

"Hn, aku? Aku tidak apa-apa," balas seseorang itu dengan senyum yang terlihat di paksakan.

"Kakak berbohong, kakak terlihat mempunyai masalah. Dan senyum kakak barusan itu di paksakan. Em ... kalau di lihat-lihat kakak sepertinya bukan dari kampung ini. Apa kakak seorang turis yang tersesat?" tanya pemuda itu lagi. Mungkin lebih tepatnya mengintrogasi pria di hadapannya.

"Aku-ya seperti yang kau lihat, dari mana kau tau aku bukan dari kampung ini? " tanya nya.

"Aku baru pertama kali melihat kakak. Kakak mempunyai masalah apa? Tidak punya cukup uang? Tempat tinggal? Kelaparan?" cerocos pemuda itu.

"Tebakanmu benar bocah, kau seperti cenanyang di mataku."

Orang itu tertawa untuk mencairkan suasana. Maskipun terlihat sangat memaksakan diri.

"Kalau begitu, kakak ikut denganku saja," ajak pemuda.

"Kemana? Rumahmu? Aku tidak mau merepotkan."

"Tidak apa kak. Lagi pula itu bukan hanya rumahku saja, itu rumah anak-anak yang memiliki nasib kurang beruntung," lirih pemuda.

"Maksudmu?" Seseorang itu mengangkat sebelah alisnya.

"Rumah ku-bukan rumah kami ini Panti Asuhan kak."

"Uh, oh. Maafkan aku, aku tidak ber---"

"Sudah tidak apa-apa kok kak." Pemuda itu tersenyum.

Seseorang itu pun membalas senyuman dengan hangat.

"Nama mu siapa?" tanya orang itu.

"Namaku Angga kak, kalau kakak?"

Pemuda itu menjulurkan tangan kanannya.

Orang itu pun dengan senang hati membalas uluran tangan pemuda itu. "Namaku Gustaf."

--

Panti Asuhan Ngabang. Itulah yang tertera pada gerbang depan. Sekilas di lihat dari luar ini tidak bisa di sebut sebagai Panti Asuhan pada umumnya. Karena Panti Asuhan ini mempunyai gerbang yang cukup besar, dan taman di depannya.

Gustaf membelalakan matanya. Ini kah yang di bilang anak tadi Panti Asuhan? Mungkin ini bisa di bilang rumah yang em ... kos-an yang besar? Bukan, apartemen. Ya mungkin ini bisa di bilang seperti apartemen yang berubah menjadi Panti Asuhan yang elit.

"Anu ... apa kau tidak salah alamat?" tanya Gustaf.

"Tidak kak, ini memang rumah kami," balas Angga.

"Tapi nak, ini seperti bukan Panti Asuhan. Ini terlalu mewah."

Angga tertawa. "Bahkan kakak pun tidak percaya."

"Siapa yang akan mengira ini Panti Asuhan? Huh? Penampilannya em ... maaf tapi tidak seperti Panti Asuhan pada umumnya," tutur Gustaf.

"Ya, dulu memang penampilannya tidak seperti ini. Tapi, dulu ada sepasang suami istri yang sangat baik hati. Mereka selalu membantu orang-orang yang kesusahan. Dan mereka juga menyumbangkan sebagian hartanya ke panti-panti. Begitu yang ku dengar dari kakak-kakak ku," jelas Angga.

"Di zaman seperti ini pun masih ada uang berbaik hati seperti itu ya," gumam Gustaf.

"Sudah kak berbicaranya di lanjut di dalam saja. Ayo masuk kak," ajak Angga menarik tangan Gustaf.

"Eh--"


TBC~


Legend Of The BorneoWhere stories live. Discover now