Mi Manchi

456 63 9
                                    

Sudah hampir tengah malam ketika mereka akhirnya tiba di apartemen. Baik Flavio maupun Fernanda belum satu pun yang pulang. Dengan hati-hati Arianna membantu Giuliano duduk di satu-satunya sofa yang mereka miliki lalu menghilang ke dapur. Sebentar kemudian dia muncul sambil membawa sebaskom air dan handuk.

"Kakimu," perintah Arianna pada Giuliano.

"Tidak apa-apa. Biar aku saja ...," tolak Giuliano namun dia kalah cepat. Arianna sudah menarik kaki Giuliano yang sakit dan meletakkan di atas pangkuannya. Lalu perlahan dia mengompres bagian pergelangan kaki yang kelihatan membengkak dan merah.

Diam-diam Giuliano memperhatikan gadis itu. Bagaimana mungkin gadis yang kemarin masih bersikap memusuhinya sekarang malah sedang melakukan ini kepada Giuliano?

"Bagaimana sekarang?" tanya Arianna tiba-tiba.

Giuliano terkejut lantas mengalihkan pandangan ke arah kakinya. "S-sudah lebih baik," jawabnya sedikit gugup. Benar-benar memalukan kalau tadi dia sampai tertangkap basah sedang memperhatikan Arianna.

Arianna tersenyum lega. "Tapi kurasa besok kau harus tetap menemui dokter," sambung gadis itu sambil meletakkan kaki Giuliano di sofa pelan-pelan sebelum berdiri.

Alih-alih menjawab Giuliano malah menatap Arianna lekat-lekat. "Maafkan aku," ujarnya pelan.

Arianna mengernyitkan dahi. "Untuk apa?" tanyanya heran. "Seharusnya aku yang minta maaf karena telah membuatmu harus berlari pada tengah malam seperti ini."

Giuliano menggeleng. "Tidak," katanya, "aku belum minta maaf atas sikap kasarku di atas kereta waktu itu dan juga di depan stasiun." Dia menghela napas keras, "Selama ini kau selalu menjauhiku jadi baru sekarang aku bisa mengatakannya."

"Ah," Arianna teringat kembali kejadian hari itu. "Kurasa lebih baik kita melupakannya." Dikibaskannya tangan dengan cepat.

"Aku tahu ini terdengar kekanakan tapi saat itu suasana hatiku benar-benar kacau karena—" dia berhenti sejenak "—ada beberapa hal yang tak bisa kuceritakan. Aku hanya berharap saat itu orang lain bisa mengerti keadaanku." Giuliano menutup wajah dengan kedua telapak tangan, "Aku tidak tahu kenapa bicara seperti ini padamu."

Arianna mendekat lantas duduk di samping Giuliano. "Aku mengerti," ucapnya tulus. "Kau tidak sendirian. Hariku saat itu juga sudah cukup buruk dan kurasa aku berharap orang lain pun akan memahami kondisiku." Dia mengedipkan sebelah mata lantas tertawa kecil, "Sepertinya aku juga harus minta maaf padamu."

"Dengan senang hati," gumam Giuliano sambil mengulurkan tangan lalu berjabatan dengan Arianna.

Giuliano lalu ikut tertawa bersamanya. Gadis itu benar. Tiba-tiba dia merasa lega.

***

"Sepulang kerja nanti aku akan mampir ke Sandri—Nama toko pastry. Mau pesan sesuatu?" tawar Arianna.

Fernanda mengacungkan jari ke udara, "Croissant dengan krim cokelat!" serunya lantas menatap Flavio yang sedang mengemasi ransel kuliah. "Dan kau?"

"Sesuatu dengan kayu manis," gumam Flavio setengah berpikir. "Aku rindu aroma dapur mamma."

Kata-kata Flavio barusan membuat Arianna teringat pembicaraannya dengan sang ibu semalam. "Ngomong-ngomong, ibuku mengundang kalian untuk makan malam di rumah kami besok."

Fernanda menjerit gembira ketika mendengarnya. "Benarkah? Ah ... pasti akan sangat menyenangkan sekali, Arianna. Aku masih bisa merasakan lezatnya Sugo alla Contadinasaus dagingbuatan mamma-mu."

Cinta, Pasta, dan Sepakbola (Il Gladiatore di Perugia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang