Si Kakek di Pinggir Jalan

9.3K 1.8K 376
                                    

Si Kakek di pinggir jalan.

Begitulah aku menyebutnya. Seorang kakek tua berbaju lusuh yang sering kudapati sedang berdiam diri duduk di pinggir jalan—lebih tepatnya di depan trotoar yang di sampingnya dihiasi gerobak sampah—dan tak mengindahkan pandangan tidak menyenangkan dari orang-orang yang berlalu lalang melewatinya. Kakek itu tak melakukan gerakan apa-apa. Hanya diam. Menatap kosong jalanan yang ramai, dan sesekali melirik kanan-kiri, entah apa yang dia cari.

Sudah beberapa bulan terakhir aku menjumpainya seperti itu, dan aku tak bosan-bosannya memerhatikan kakek itu. Dia unik, menurutku. Dan sikap diamnya sungguh membuatku ingin mencari tahu lebih lanjut.

Tapi sayang, rasa gengsi yang besar membuatku enggan untuk melakukannya.

Aku hanya bisa memerhatikannya dari sini—di halte bis yang selalu sepi, yang terletak tepat di seberang jalan dari kakek itu berdiam diri. Semakin sering aku memerhatikannya, semakin tinggi pula rasa keingintahuanku untuk mengenalnya.

Yah, hanya sekadar mengenal, dan bertanya apa yang sedang dia lakukan. Itu saja.

Sampai suatu hari, akhirnya rasa penasaran itu memuncak. Tak dapat dibendung lagi. Melawan rasa takut dan gengsi, aku pun bergerak menghampirinya yang saat itu sedang duduk santai, bersandar pada pagar besi yang memang berada di belakangnya. Aku memutuskan untuk tetap memakai seragam identitas sekolah dan menggunakan jilbab sederhana agar tidak mencolok perhatian. Kemudian, aku menepuk bahunya pelan, mencoba mengulum senyum setulus mungkin, lalu menyodorkan seplastik es teh yang kubawa sebagai awal agar bisa berbasa-basi.

"Assalamu'alaikum, Kek," sapaku ramah, yang justru dibalasnya dengan kernyitan bingung. Entahlah, aku tak tahu apa yang membuatnya begitu. Dia tak menerima sodoran plastik es tehku, namun juga tak menolaknya. Dia hanya tertegun.

Aku ikut-ikutan bingung. Ada apa? Apa aku melakukan hal aneh? Apa aku mengganggunya?

Tapi, pikiran-pikiran itu langsung terhapus tatkala tiba-tiba saja, kakek itu mengulum sebuah senyum. Walau keriput menghiasi senyum itu, tapi aku tahu, bahwa itu adalah senyum yang tulus.

"Wa'alaikumsalam, Nak. Sini, duduklah," tangannya menepuk tempat di sampingnya yang sedikit berdebu, "kotor tidak apa-apa, 'kan?"

Aku segera menggeleng, "Tentu saja tidak apa-apa. Saya bukan orang yang gampang jijik, kok, he he he," balasku sambil bercanda. Aku langsung duduk di sampingnya dengan nyaman.

Senyum kakek itu masih belum hilang juga dari wajah keriputnya. Walau sudah tua, tapi entah kenapa, aku masih bisa merasakan rasa semangat dalam dirinya hanya dengan melihat pancaran matanya.

"Aku tadi sedikit terkejut, Nak," ucapnya memulai pembicaraan. Suaranya bergetar, seperti suara orang-orang tua pada umumnya. Aku mendengarkan dengan saksama. "Baru pertama kalinya ada orang yang menganggapku ada."

Detik itu juga, aku mengernyit. Maksudnya?

Sementara aku sedang sibuk mencerna apa yang dia ucapkan, kakek itu malah tersenyum hangat, "Namaku Suryo. Dan kau, Nak?"

"Err .... nama saya Nur, kek. Masih kelas sebelas SMA," jawabku sedikit gugup. Kakek itu tertawa, entah karena apa.

"Ya ampun. Baru kali ini ada anak remaja sepertimu yang mau berbicara dengan orang sepertiku."

Dia membenarkan posisinya, menghapus peluh yang meluncur di dahinya karena kuasa sang matahari. Pandangannya teralih pada jalanan siang yang semakin ramai ditambahi klakson mobil dan motor yang memekikkan telinga. Cukup lama dia terdiam, dan aku masih dengan sabar menantinya kembali berbicara.

"Biasanya, orang-orang hanya memandang kami sebelah mata. Kita pengganggu, katanya," ujar kakek itu, disertai tawa getir.

"Kalau boleh tahu, kenapa kakek sering duduk-duduk di sini? Apa kakek tidak punya keluarga lagi?" akhirnya, aku yang giliran bertanya. Sambil menyeruput es teh yang tadi kubeli, aku menanti jawabannya.

Si Kakek di Pinggir JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang