Melintas Masa

19.2K 875 84
                                    

Melintas Masa

 

Prolog

Batavia, 1941

“Aku tidak mau, Romo. Aku tak mau dinikahkah!” teriaknya sambil bangkit dari duduknya. Semua orang yang ada di ruang keluarga itu terdiam dengan teriakannya.

“Laksmi, pergi ke kamarmu!” sang Romo bangkit dari duduk sambil menunjuk ke arah kamarnya.

Air mata menggenang di pelupuk matanya. Laksmi berbalik dan berlari menuju pintu depan, pergi ke luar rumah.

“Laksmi!” teriak Romo menghardik. Tapi Laksmi tetap berlari tak mendengar kata-kata sang Romo.

“Sudah, kang mas. Laksmi hanya kaget dengan rencanamu itu.” Ujar istrinya menenangkan. Romo kembali duduk di kursinya.

“Romo seharusnya memberitahukannya dengan pelan-pelan. Perasaan Laksmi itu terlalu rapuh, Romo. Sedikit dimarahi ia akan merasa sakit hati.” Ujar putra tertuanya, menenangkan. Keempat putranya yang lain juga mengiyakan.

“Kalian semua terlalu memanjakannya. Lihat, sekarang ia tumbuh menjadi gadis pemberontak.” Suara Romo yang berwibawa berubah menjadi bernada marah.

“Seharusnya aku tak usah mengirimnya ke sekolah milik pemerintah kompeni. Biar dia di rumah saja, belajar mengurus rumah, belajar menjadi istri yang baik. Dia tak sadar kalau umurnya sudah 18? Kalau tak segera dinikahkan, dia hanya akan jadi perawan tua!”

Ia berlari keluar dari pekarangan rumahnya yang cukup luas. Sosoknya yang berlari itu mengagetkan para tukang kebun dan penjaga kediaman keluarganya. Mereka heran, melihat anak perempuan majikannya itu berlari ke jalan raya dengan mata yang berlinangan air mata.

‘Memangnya ini jaman apa? Jamannya Kartini apa? Sampai Romo mau menjodohkanku dengan anak dari teman dagangnya. Padahal jaman sudah maju begini tetapi mengapa masih ada orang yang berpikiran kolot seperti Romo? Apa beliau pikir aku akan mau? Tentu saja tidak. Apa gunanya aku bersekolah kalau pada akhirnya hanya akan menjadi seorang istri?’ pikir Laksmi. Ia berlari menuju lingkungan Oud Batavie.

Oud Batavie atau dikenal sebagai kawasan Batavia lama. Oud Batavie ini dirancang oleh Simon Stevin atas permintaan dewan pemerintah VOC di Belanda pada tahun 1618. J.P.Coen, gubernur jenderal VOC masa itu, ingin membangun Batavia sebagai pusat perdagangan dunia setelah Tanjung Harapan. Di pusat Oud Batavie terdapat sebuah bangunan bergaya belanda yang mirip dengan Istana Dan di Amsterdam, Belanda. Gedung itu adalah Gedung Balai Kota, yang juga dikenal sebagai Stadhius. Gedung ini di lengkapi dengan penjara dan pengadilan, Raad van Justitie. Mulai tahun 1925, gedung ini dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah pemerintahan Belanda.  

Laksmi berhenti berlari di halaman Balai Kota Lama itu dan mendengar dentang lonceng Gereja Sion yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengusap air matanya dan bergegas menuju ke Gereja Sion. Sesampainya disana, ia berjalan di lorong gereja dan menatap ke dalam gereja. Saat itu gereja hampir penuh dengan jemaat. Sedang ada upacara pernikahan.

Laksmi berhenti dan mengintip dari balik jendela kaca patri besar yang memenuhi dinding di hadapannya. Saat itu, seorang pastur yang ia kenal, Bapa Frans, sedang membacakan doa kepada kedua mempelai. Ia tersenyum kepada dirinya sendiri. Ia selalu memimpikan menikah di gereja itu bersama seseorang yang benar-benar ia cintai. Doa yang dilantunkan Bapa Frans telah selesai dan mempelai dipersilahkan untuk berjalan keluar untuk melalukan prosesi melempar bunga. Rekan dan kerabatnya yang ikut menyaksikan upacara pernikahan itu perlahan keluar dan membentuk setengah lingkaran di kaki tangga. Laksmi mengikuti dan menyaksikan dari sudut gereja. Sang mempelai wanita terlihat cantik meski hanya mengenakan gaun putih yang sederhana. Sebuah buket bunga mawar putih dipadu dengan bungaCasablancatergenggam di tangannya. Mempelai wanita itu melemparnya. Rekan dan sepupu wanitanya berebut menerima buket itu hingga seorang wanita dengan rambut dikepang mendapatkannya.

MELINTAS MASA [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang