Bab 4

20.4K 2K 174
                                    


It's gonna be worth it
Cause that's what love is
I'll keep searching for my kind of perfect
David Archuleta - My Kind of Perfect

***

Saras

Di salah satu malam di mana salah satu di antara aku dan Gita sedang suntuk, kami biasa menginap di apartemen salah satu dari kami dan mengobrol sampai pagi tiba. We talk about anyone, anything. Sampai mata kami terpejam dengan sendirinya, barulah percakapan malam itu bisa diakhiri.

Malam itu, giliran Gita datang ke apartemenku. Malam itu baru tiga minggu setelah pernikahannya, tapi dasar bocah sinting satu itu, dia malah kabur dari suaminya dan curhat panjang-lebar kepadaku tentang bagaimana depresinya dia dalam menjalani pernikahannya.

"Gue nggak tahu, deh, apa yang ada dipikiran mama sama papa waktu mereka mau nikahin gue sama si Danang." Begini tipe-tipe kalimat Gita dulu tiap kali dia mulai tidak terima terhadap takdirnya. Mungkin aku sudah ratusan kali mendengar kalimat yang seperti ini.

"Udah lah, Git. Lo syukurin aja, lagi." Aku berusaha bijak. "Toh Danang juga baik banget sama elo. Seenggaknya laki lo itu worth it lah, kalau dibandingin sama si Andre dulu."

Gita menatapku, kesal karena aku ak kunjung mengerti dengan apa yang ia rasakan. Aku memang tidak pernah mengalami apa yang ia rasakan, sih. Dan semoga saja tidak akan pernah.

"Danang emang baik banget sama gue, Ras...," katanya lirih. "Makanya gue jadi merasa bersalah sama dia. Gue nggak bisa ngasih apa yang dia inginkan dari gue."

Aku melotot. "Have you..."

Tahu apa yang ingin aku tanyakan, Gita menggeleng. Membuat aku lebih terkejut lagi.

"Serius lo?"

Gita mengangguk. "You won't do that with someone you don't love, Ras."

Aku mengangguk-angguk. Bagaimanapun aku mencoba untuk mengerti, aku tetap tidak bisa. Aku tidak pernah berada di posisi Gita: menikah dengan orang yang tidak kucintai dan membuatku harus memutuskan cowok yang sudah 3 tahun berpacaran denganku. Astaga, aku baru sadar kisah percintaan Gita sudah seperti tema di film-film romansa kesukaanku.

Akhirnya, demi membuyarkan kesunyian yang tidak mengenakkan, aku memutuskan untuk memutar lagu milik David Archuleta yang berjudul My Kind Of Perfect. Ketika David sampai pada lirik I'll keep searching for my kind of perfect, Gita tiba-tiba menyeletuk: "So, what's your kind of perfect, Ras?"

"Yang seiman." Jawabku tanpa berpikir panjang.

"Terus?"

"Yang baik. Yang selalu meluangkan waktunya untuk gue, nggak cuma sesumbar setia doang. Talk more do less, nggak usah kebanyakan ngegombal pakai kata-kata norak. Yang jujur. Nggak nyepik kemana-mana. Nggak perlu rapi banget, tapi harus wangi. Ganteng tapi nggak sadar kalau dia ganteng, jadi enggak narsis. Yang nggak suka selfie. Tinggi...,"

"Stop, stop." Gita menghentikan kata-kataku. "Lo lancar banget jawabnya. Kayak lagi ngedeskripsiin orang."

"Masa?" Tanyaku, tak bisa menyembunyikan cengiran lebarku. Tadi sewaktu aku menjawab pertanyaan Gita, aku memang sedang membayangkan sosok Gilang.

"Lo lagi naksir orang, ya?"

Aku masih berusaha menyembunyikan senyumku, namun tiba-tiba saja mulutku mengkhianatiku dan berkata, "Satu lagi, Git. Yang pekerjaannya pilot."

Gita melotot, sama sekali lupa dengan kegalauannya mengenai suami-yang-tidak-dicintainya. Dia memandangku sepenuhnya, seperti berusaha mengingat-ingat apakah aku pernah menceritakan tentang ini sebelumnya. Well, aku memang pernah sekilas menceritakan tentang Gilang pada Gita: bahwa aku berkenalan dengan seorang pilot di hari pernikahannya, namun tidak dengan kami yang sering nge-date setelah itu. Gita sedang dalam masa galaunya yang akut, aku tidak tega mengatakan bahwa aku bersyukur Gita menikah dengan Danang karena dengan demikian aku dapat bertemu Gilang. Astaga, Gita pasti akan mencakar-cakar wajahku jika tahu tentang itu.

Immortal (Rewrite)Where stories live. Discover now