#3 (Janji)

839 38 0
                                    


Pohon-pohon besar berjejer di pinggir jalan. Di jalan raya Vega sedang mengendarai mobil Toyota Starlet berwarna merah bersama seorang pemuda berambut gondrong yang duduk di sebelahnya. Pemuda itu adalah sahabat kecil Vega yang bernama Erik.

"Sebenarnya kita mau pergi ke mana?" Vega diam saja tidak menggubris perkataan Erik yang sudah merasa kesal.

"Tadi kamu menyuruhku datang ke kampus, tapi setelah kita bertemu, bukannya memeluk malah menyeretku masuk ke dalam mobil. Apa kamu tidak merasa rindu? Bayangkan saja, kita baru bertemu lagi setelah dua tahun berpisah!" ujar Erik.

Vega mulai memperlihatkan senyumnya. "Apa aku harus rindu kepada orang yang selama dua tahun ini terus menelponku tiap malam?"

Erik menghembuskan napas dengan kencang. "Ternyata percuma aku menyusulmu ke Jakarta bila kenyataannya kamu tidak merindukanku. Kenapa aku harus mempunyai sahabat seperti kamu?"

Vega langsung mengerem mobilnya secara mendadak. Kepala Erik pun terpental ke depan, beruntung dia memakai sabuk pengaman,

Pemuda berambut gondrong itu melihat ke arah Vega, perempuan itu memegang setir mobil begitu erat. Erik pun mengangkat ke atas kepala.

"Aduh ... aku salah ngomong lagi, Vega, kan, mudah tersinggung." gumam Erik dalam hati.

"Keluar!" ujar Vega. Tapi Erik masih tetap duduk di kursi.

"KELUAR!" Erik dengan cepat keluar, membuka pintu mobil, dan menutupnya kembali karena Vega telah membentaknya.

"Ah, sial, Vega masih sama saja seperti dulu." Kaki kanan Erik menendang angin, matanya tertuju kepada mobil Vega yang melaju pergi meninggalkannya.

"Ternyata dia bukan orang yang kucari." Vega menyetir mobil dengan raut muka yang dingin.

Suara petir terdengar beberapa kali. Lintar mendekati kaca di ruang tamu, terlihat hujan sangat lebat.

"Dari tadi malam kenapa hujannya belum reda juga? Padahal hari ini aku sudah janji membantu Dona mengajar," Lintar pun diam sejenak lalu pergi ke kamarnya.

"Kamu mau ke mana? Bukannya hari ini tidak ada kuliah?" tanya ibunya yang sedang beres-beres di meja makan. Ibu Lintar melihat Lintar keluar dari kamarnya memakai jaket berwarna biru tua dengan tas sudah terpasang di punggungnya.

"Lintar mau keluar dulu sebentar, Bu."

"Cuaca di luar sangat buruk, lebih baik kamu diam saja di rumah."

Lintar menghampiri ibunya lalu memeluknya, "Aku sudah ada janji, Bu!" Pemuda berponi itu melepaskan pelukannya, kemudian menghampiri ayahnya yang sedang duduk santai sambil membaca koran.

"Ayah, Lintar pergi dulu!" Pemuda itu mencium tangan ayahnya.

"Kamu harus pulang cepat hari ini."

"Iya, Yah, Lintar cuma sebentar, kok, keluarnya." Ayahnya tersenyum mendengar perkataan anaknya.

Pemuda itu mengambil payung yang ada di dekat pintu lalu berjalan keluar.

"Dadah, Lintar pergi dulu, ya!" Lintar melambaikan tangan.

"Hati-hati di jalan!" Ibunya berkata penuh kasih.

Udara dingin mulai terasa menusuk tulang saat pintu dibuka. Tiba-tiba terdengar suara petir mengagetkannya.

"Sama-sama bernama halilintar jangan saling menakuti. Semangat Halilintar!" Pemuda berponi itu tersenyum mencoba menyemangati dirinya sendiri. Tanpa berpikir lagi, Lintar bergegas pergi di tengah hujan lebat.

PSIKOLOGIS:  Suara HatiWhere stories live. Discover now