Chapter 32

7K 703 235
                                    

Kami tiba di Heathrow airport pada pukul delapan malam. Langit yang tampak sudah gelap menyambut kami dengan hangat. Perjalanan panjang dan melelahkan itu terasa terbayar ketika aku bisa melihat langit malam di kota London. Kondisi airport yang cukup padat membuatku dan Harry harus sedikit bersabar.

Dia menggendong ranselnya dan menarik koperku secara bersamaan. Padahal aku sudah mengatakan jika aku bisa membawa koperku sendirian tetapi dia enggan memberikannya padaku dengan alasan dia tak ingin aku kelelahan karena selama perjalanan tidurku tidak benar-benar pulas.

Kami menghabiskan waktu satu jam untuk sampai di alamat yang kami tuju. Setelah taksi berhenti tepat di depan kediaman tersebut, aku mengirimkan pesan singkat kepadaku Paman Andrew. Harry mengeluarkan koperku dan beberapa barang lainnya yang terletak dibagasi.

Mataku mengitari halaman depan rumahnya-rumah masa kecilku, tempat dimana Ayah selalu mengajakku bermain ketika liburan musim panas-Tidak ada yang berubah, hanya saja pepohonan hijau tertanam lebih banyak di halaman depan. Lalu cat dinding yang terlihat lebih menyala dibandingkan yang dulu.

Lagi, aku teringat saat aku dan Grace masih kecil, kami membantu Ayah dan Paman Andrew untuk mengecat pagar rumah, namun bukannya membantu, kami malah menghancurkan pekerjaan mereka. Aku mendesah pelan, memikirkan bagaimana berbedanya kehidupanku yang dulu dengan yang sekarang.

"Apa yang kau pikirkan, sayang?"

Aku melirik sejenak kearah Harry sambil lalu kembali menatap rumah sederhana yang ada dihadapanku. "Aku merindukan kehidupanku yang dulu. Rumah ini memberiku banyak kenangan."

"Aku mengerti apa yang kau rasakan. Jangan bersedih, aku tak sanggup melihatnya."

Sebisa mungkin aku mengulas senyum dihadapan Harry, aku tak boleh lemah. Ku genggam tangan Harry ketika kami berjalan menuju teras rumahnya. Benar-benar sederhana namun tertata sangat rapi. Tanganku menekan bel rumahnya, berharap jika pemilik rumah akan segera membuka pintu. Tak lama berselang, seorang wanita dengan jarutan sweater hangat membuka pintu. Aku tersenyum lebih lebar lagi.

"Astaga, Sheren!" Dia berteriak kencang seraya menarikku ke dalam pelukannya yang hangat. Dia adalah Bibi Anna-Istri Paman Andrew-yang sudah dinikahinya kurang lebih tiga puluh tahun lamanya. "Bagaimana kabarmu, sayang? Aku sangat, sangat, sangat merindukanmu."

"Aku baik, Bibi. Astaga, terakhir kali kita bertemu saat pemakaman Ayah dan Ibu. Aku merindukanmu." Bibi Anna mengecup kedua pipiku. Dia seperti sudah Ibuku sendiri.

"Lihat, siapa yang kau bawa, Sheren?"

Kini pandangan kami beralih pada Harry yang sedari tadi berdiri sedikit jauh dari kami. Dia berjalan mendekat setelah aku memberi isyarat. "Dia kekasihmu yang kau ceritakan itu? Siapa namanya? Henry..-"

"Harry. Perkenalkan namaku Harry. Ya, aku kekasih Sheren." Tangan kanan Harry terulur, Bibi Anna dengan cepat menjabatnya. Dia tersenyum menampakan lesung pipinya. Entah karena apa Bibi Anna terpaku ditempat dengan kedua matanya yang berbinar-seperti melihat seorang malaikat. "Senang bertemu denganmu."

"Perfect! Astaga, Sheren dimana kau menemukan pria setampan Harry?"

Pertanyaan tersebut membuatku dan Harry saling bertatapan. Bingung harus menjawab dengan apa. "Oh baiklah sepertinya tidak baik jika kita berbicara di luar. Ayo, silahkan masuk, Andrew pasti senang melihat kalian sudah datang."

Bibi Anna berjalan masuk terlebih dahulu. Aku dan Harry sempat berebut untuk membawa koperku. Kami seperti anak kecil yang sedang berebut mainan. Aku mendesah sedih saat dia berhasil merebut koper itu dari tanganku, tetapi melihat wajahku yang cemberut, Harry buru-buru memberinya padaku. Dengan itu aku menyengir lebar dan dia mengacak-acak rambutku.

The Rumours [h.s]Where stories live. Discover now