D u a

118 54 0
                                    

Pertandingan basket antara SMA Prime One dengan SMA Pelnusa berakhir dengan score 11-7.

Setelah Roy melakukan slam dunk andalannya, peluit tanda pertandingan berakhir pun ditiupkan. Kali ini, ia mengharumkan nama sekolah lagi.

Seluruh penonton-cewek-cewek terutama-berteriak menyebutkan namanya. Oh, Roy. Dia begitu dipuja di sekolahnya.
Roy dengan peluh keringat yang bercucuran di badannya langsung menuju ke ruang ganti, tak lama kemudian keluar dengan seragam sekolah yang biasa dipakainya.

Ia berjalan menuju kantin-rupanya ia agak malas untuk ke kelas sekarang. Kepalanya terasa berdenyut-sakit, rasanya.

"Roy!" Catherine memanggil dari kejauhan.

Roy menoleh, dan bisa dilihatnya Catherine melambai-lambaikan tangan dengan samar. Sekarang, matanya tiba-tiba merasa berat untuk dibuka.

Sial, tumben-tumben nih kek gini? Gue overdosis apa? pikirnya.

Kemudian, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak mengindahkan Catherine dan terus berjalan sampai ia menabrak seseorang.

"Ups! Maaf," suara Roy terdengar agak serak ketika mengucap demikian. Tak ada respon, Roy pun segera menatap orang yang tampaknya seorang gadis, lebih pendek darinya-dan matanya membelalak secara paksa sekarang.

Sosok gadis dengan rambut gelombang kecoklatan itu, menatapnya teduh. Mereka tak mengucap apa-apa, hanya saling tatap.

"Lo penyadap?" tanya gadis itu pada Roy-Luna.

Emosi Roy seketika berkecamuk, pikirannya mulai tak terkendali akibat ditanyai yang bukan-bukan. Baru saja Roy mau meraih kerah baju gadis di depannya, Catherine sudah menepuk punggungnya dengan keras.

"Oee, Roy! Lo ngapa sih! Gue panggil nggak nyaut! Nyamperin juga nggak!" Catherine mengomelinya secerewet mungkin, dan tak lama, ia tersadar ada yang memperhatikan dirinya di depan.

Anjay, ini cewek manis banget, pikir Catherine.

"Apaan lo liat-liat?" hardik Catherine pada Luna. Luna cuma menaikkan kedua alis matanya, kemudian pergi.

"Itu cewek apaan dah? Aneh." Catherine menatap punggung Luna hingga bayangannya menghilang.

"Heh, lo kok loyo amat sih? Capek? Sini-sini, gue tuntun ke kantin? UKS?"

"Kantin," akhirnya Roy membalas, "Dan, gue bisa jalan sendiri." Ia menegakkan tubuhnya dan mulai berjalan pelan.

"Gue tau lo capek-Bodo, ah!" Catherine akhirnya membuntuti Roy di belakang.

***

Itu cewek tau dari mana ya? Bisa-bisanya mikir gitu cuma sekali lihat, eh dua kali.

Roy baru saja menenggak sebotol air dan dua pil. Belakangan ini, ia memang banyak mengkonsumsi narkotika daripada biasanya.

"Penyadap, hm?" Roy memutar-mutar jarinya. "Bukan, ah. Gue bukan penyadap. Gue, 'kan, masih bisa kontrol."

Ia menunjuk tumpukan pil-pil yang dibungkus plastik di atas meja-baru dikeluarkannya, memang. Barang-barang terlarang itu selalu disembunyikannya di tempat yang aman.

Jadi, sekali ada pemeriksaan atau penggeledahan, barang-barang itu takkan dapat ditemukan di manapun. Kehidupan Roy memang terbilang sangat bebas. Orang tuanya bekerja di luar negeri, makanya dia harus tinggal sendirian di tempat seperti mansion ini.

Ia juga merasa lebih nyaman untuk tinggal sendiri, daripada harus mempekerjakan orang di rumahnya. Ia takut kalau pembantu-pembantunya nanti tak bisa tutup mulut.
Roy, menenggak dua pil lagi.

"Mungkin ada benarnya juga," celotehnya agak kuat. Roy mulai berjalan mondar-mandir. "Untung hari ini, gue nggak ada jadwal."

Ia berjalan ke sofa ruang tamu, lalu menjatuhkan diri dengan posisi telungkup. Ia meraih handphone di tangannya dan melihat jam.

"Hoaaahm ... masih jam sepuluh?" Ia melempar handphone-nya ke sembarang arah-untungnya terjatuh di sisi sofa yang lain.

"Keluar, ah. Tapi, kapan, ya? Sejam lagi ... dua jam lagi?" Ia menggulingkan badannya ke samping, lalu bangkit dengan posisi duduk.

"Argh! Gue bingung!" Ia mengacak-acak rambutnya. Ia ingin pergi ke pub, atau klub-klub mewah, hanya saja entah mengapa badannya terasa begitu lelah.

Akhirnya, ia pun cuma bisa melamun di kondisi yang sakau itu. Pikirannya kosong, pelan-pelan mulai terbayang sosok wajah Luna di benaknya.

"He?" gumam Roy, "Cewek itu, kenapa muncul di kepala gue sekarang?"

Ia menyeringai. "Bener deh, ya. Gue gak perlu mikirin cewek itu. Kali-kali aja dia cuma nebak karena ngeliat gue keluar malam-malam. Emang siapa yang peduli kalo gue kek gini? Reputasi sekolah gue juga bagus. Anak nakal di sekolah gue juga banyak." Roy mulai berceloteh tak jelas.

"Udah, ah. Mending gue tidur dulu." Ia bangkit dan berjalan sempoyongan ke kamarnya. Kondisinya benar-benar parah rupanya, sampai-sampai ia tak bisa mendengar bunyi bel rumah yang ditekan Catherine berkali-kali.

Kala itu, Catherine berdiri di depan pintu rumah Roy, entah berkeinginan apa-Ini kali pertamanya ia ke rumah Roy.

"Ini beneran rumahnya, 'kan?" tanyanya pada diri sendiri. "Jangan sampe ... gue salah rumah-Roy!"

Ia mulai berteriak, namun tak ada respon dari pemilik rumah.
Luna yang kebetulan lewat dan mendengar teriakan Catherine pun bergumam, "Oh, jadi di sini rumah Roy."

RevengeWhere stories live. Discover now