A SECRET EXIT [73] (Part 1)

2.4K 495 48
                                    

Aku sangat-sangat-sangat-sangat-sangat meminta maaf karena harus mengakhiri surat kemarin dengan sangat tiba-tiba. Aku bahkan tidak membubuhkan tanda tanganku. Jika kau penasaran, sebut saja, seperti yang kuperingatkan di awal dulu, ada baiknya aku tidak bicara tentang ... Albert, saat sedang jam surealis. Dan ketakutanku terpenuhi kemarin. Aku melanjutkan surat kemarin hingga sekitar tiga setengah halaman lagi, dan semuanya hanya mengenal dua tanda baca: titik dan tanda tanya. Dan, aku jujur saja, semuanya tentang Albert.

Begini. Akhirnya aku bicara dengan Mama soal ... yah, nanti kau akan lihat sendiri. Kejelasan yang kucari selama ini akhirnya terjawab juga. Aku ... oke, aku sedih. Tapi itu untuk nanti saja.

Oh iya, berhubung kejelasan yang sudah kudapat (berkat Mama), bisa jadi ini adalah surat terakhirku untukmu. Aku tidak tahu. Kuperjelas saja semuanya di sini, jadi mungkin surat ini akan jadi lebih panjang dari biasanya. Maaf jika surat ini agak terlambat tiba. Tanganku masih pegal bekas menggarap surat surealis kemarin.

Jika aku tidak salah ingat, sebelum akhirnya jam surealis menendang masuk, aku baru saja bicara tentang saat aku dan Albert akhirnya duduk di birai di pinggir kanal, di pelabuhan. Ah, ya, peristiwa pelabuhan. Albert berusaha membuktikan bahwa kenyataan punya wujud konkret.

Dia tidak main-main. Bibirnya terlipat ke dalam, yang biasanya berarti dia sedang berpikir keras. Bahkan di kegelapan tempat itu, aku bisa melihat matanya berkilat. Aku mengangkat alis. "Ya?"

"Ini akan terdengar sangat aneh," katanya. "Tapi coba kita mulai dari sini. Jam surealis."

Dia berhenti sebentar—khas gayanya jika menjelaskan soal sesuatu. Aku mengangguk. "Oke, ada apa dengan jam surealis?"

"Apa yang kauindera di jam surealis?"

Aku terdiam sesaat. "Hmm ... macam-macam."

Albert nyengir menyebalkan. "Garis besarnya."

Aku tersenyum balik. "Alam bawah sadar."

"Bagus. Berarti semua informasi yang kauterima dari mereka tidak difilter sama sekali, 'kan?"

Aku mengangguk.

"Berarti yang kaulihat tidak tertutupi oleh apa pun, 'kan?"

Aku mengangguk lagi. Albert ikut mengangguk kecil.

"Berarti apa bisa kubilang bahwa yang kaulihat itu ... kebenaran?"

Aku mengernyit. "Di satu cara, sepertinya bisa. Apa itu buktimu?"

Dia menggeleng. "Bukan. Sabar, kita akan sampai sana. Bahkan jika kita sepakat bahwa jam surealismu itu membiarkanmu mengindera kebenaran sekalipun, menurutku itu masih belum bisa dibilang konkret karena cuma orang seperti kita yang bisa mengindera mereka. Sulit membuktikan kenyataan mereka."

Aku menatapnya. "'Seperti kita'?"

"Hei, awalnya kaukira kau sendirian. Lalu ada aku. Minimal, ada kemungkinan bahwa ada lagi orang seperti kita di luar sana, 'kan?"

Aku kembali menoleh menatap gemintang sambil bergumam. "Makhluk-makhluk seperti kita."

Albert tersenyum kepadaku. "Makhluk-makhluk seperti kita."

Kami jatuh terdiam selama beberapa detik. Gemintang di langit sana masih berkedip manja kepadaku. Aku mengedip balik kepada mereka. "Lalu?"

"Ini sebenarnya teoriku sendiri," katanya. "Um, oke, bukan punyaku sepenuhnya. Nyaris semua mitologi Timur Tengah mengenal konsep ini. Terutama Ibrani dan Mesir. Aku sudah agak lama tahu soal ini, tapi dalam membentuk penjelasannya, aku terinspirasi oleh ini dan aku terutama terpikir ini karena ... yah, saat kita nyaris berkenalan di bus dulu."

LapseUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum