Prolog

942 77 33
                                    

PROLOG

'Sebelum ini, aku menyangka hal yang paling buruk kualami selama 17 tahun dari hidupku adalah melihat gadis yang kusukai, sudah bahagia karena lelaki lain.

Tapi tidak. Ternyata ada yang lebih buruk dari itu.

Yaitu sekarang. Mendekam di penjara selama satu tahun bersama seseorang yang menyeretmu ke dalam masalah ini.'

...

"Menulis buku harianmu lagi, Banci?"

'Kau dengar? Baru saja aku membicarakannya, orang idiot ini meledekku. Dia mengataiku banci.

Apakah aku akan memukulnya? Mungkin.'

"Anak manja, dengarkan aku!"

Aku mendengar suara decitan besi dari ranjang dengan lantai di belakangku. Aku sudah terbiasa untuk tidak memedulikan apa yang dikatakan bad boy gadungan yang kini berdiri disampingku, mencoba mengintip tulisan tanganku di sebuah buku tulis.

"Apakah di setiap awal curhatanmu disana menggunakan kalimat seperti 'dear diary'? Oh, tunggu. Seharusnya aku tidak bertanya karena setiap orang yang menulis diary selalu mengawalinya dengan kata-kata konyol tersebut."

Serius? Dia benar-benar mengatakan itu?

Oke, aku akan jujur. Semakin Ia mengoceh, mengeluarkan omong kosong dari mulutnya, membuat kesabaranku semakin menipis setiap harinya. Rasanya aku ingin membenturkan kepalanya ke tembok hingga berdarah. Biar dia mati sekalian. Tapi jika aku melakukannya, aku malah akan dipindahkan dari penjara remaja ke penjara sesungguhnya, dengan hukuman yang lebih lama.

"Nerd, dengarkan aku."

Aku memutar bola mataku ketika orang sinting ini memutar kursiku hingga aku berhadapan dengannya. Ia, Brooklyn Beckham atau Si Kepala Sinting, membungkuk padaku hingga jarak wajah kami berdua dekat. Bahkan aku dapat merasakan hembusan nafasnya mengenai pipiku.

Kuberitahu satu hal; nafasnya bau.

"Menulis buku harian tidak akan membantu kita keluar dari sini, Bodoh."

Buku harian? Aku tidak percaya ini. Harus berapa kali aku memberitahunya?

Aku menghela nafas, memendam semua emosiku yang ingin meledak. Kuraih buku jurnalku, kemudian menunjukkannya kepada Brooklyn. "Brooklyn Beckham, akan kuberitahu satu hal," aku mengangkat buku jurnalku tersebut tepat di depan hidung Brooklyn. Rasanya aku ingin langsung menghantam buku ini ke hidungnya, namun ada moment yang tepat untuk hal itu. "This a freaking journal, you moron. Bedakan dengan buku harian. Jurnal, adalah buku untuk orang sepertiku. Nah, buku harian, sebuah buku yang biasanya dimiliki perempuan yang cocok digunakan oleh orang sepertimu," aku berkata dengan sinis.

Kau tahu, seharusnya aku mendapat penghargaan dari kepala penjara karena tidak membunuhnya setelah hampir 6 bulan mendekam di sel yang sama bersamanya.

Aku lama-lama bisa gila.

"Ledekan yang bagus, Mentega. Tapi itu tidak mempan. Kau payah," Brooklyn berdiri tegak dan memutuskan kembali duduk di atas ranjang tingkat di sudut sel.

Aku mendehem, memberikan Brooklyn senyuman terbaikku. Setidaknya aku harus membuktikan kalau aku lebih cerdas darinya.

Lebih cerdas? Man, kau menyetujui usul Brooklyn untuk menyakiti Ircia. Kau sebut itu cerdas? Kalau aku, kusebut itu idiot.

"It's fucking Butterfield, for your damn information."

Brooklyn tergelak. Ia seakan tidak percaya aku merespon ucapannya. But he better believe it because I'm fucking done with him. Dia benar-benar seorang fuckboy. Banyak alasan mengapa kau harus membencinya dan menjauhinya, namun yang paling kubenci darinya adalah caranya memandang seorang perempuan. Baginya perempuan adalah gadis-gadis yang akan memuaskan nafsu-nya. Dan dari satu alasan itu, kau akan langsung tahu Brooklyn tidak lebih dari seorang pecundang. Sayang sekali Ia memiliki paras yang sempurna hingga Ia kerap membanggakan dirinya atas hal itu.

Dan kau tahu. Kalau saja pembunuhan adalah hal wajar, aku sudah menggorok lehernya sejak kami pertama mendekam di penjara.

"Oh, aku tidak percaya ini!" Brooklyn berdiri. Ia mendekatiku lagi, dan berdiri dua meter di hadapanku sambil berkacak pinggang. "Kau membela nama besar keluargamu, huh? Tapi itu tidak berguna, Mentega. Kau sudah terlanjur mengotori nama besar keluargamu itu jauh sebelum aku melakukannya! Kau membuat malu keluargamu! Terutama Ayahmu yang dengki itu, Bajingan."

Brooklyn tersenyum penuh kemenangan. Ia sepertinya sengaja memancing emosiku.

Dan dia berhasil.

"BUAK!"

"AAHK!"

Aku berteriak marah ketika kulayangkan kakiku ke perutnya, menendangnya kuat dan tanpa ampun. Aku begitu marah dan rapuh di saat yang sama. Tendanganku semakin kuat ketika suara jeritan Ircia menggema di fikiranku.

Ia merintih kesakitan setelah aku mendorongnya hingga Ia ambruk jatuh ke tumpukan kursi. Tangannya memar dan kakinya tergores paku hingga mengeluarkan darah. Tapi itu tidak membuatku berhenti. Karena Ciara terus mengingatkanku mengapa aku harus melakukannya.

"Ia lebih memilih lelaki culun berkacamata itu dibanding kau. Bukankah kau merasa rendah, Asa?"

Aku menepis tangan Ciara untuk mendekati Ircia. Aku buta. Aku tuli. Aku tidak melihat seberapa besar sakitnya Ircia sekarang. Aku tidak mendengar suara tangisan Ircia yang begitu menyakitkan.

Itu semua karena satu hal.

Aku mencintainya namun dia malah memilih orang lain!

"Asa ..." Ircia merentangkan tangannya padaku. Ia meringis perih saat mencoba menggapai pipiku. "Apapun yang telah kulakukan ... ma-maafkan aku. Tolong hentikan ini ..."

...

"ASA!"

Aku tersentak ketika seseorang menarikku menjauhi Brooklyn. Aku terpaku, nafasku terengah sesaat setelah sadar apa yang telah kulakukan. Kupandangi Brooklyn yang langsung mundur ke tembok, memandangiku begitu ketakutan.

Seperti inilah yang terjadi 6 bulan yang lalu. Inilah yang kulakukan pada Ircia. Aku memukulinya tanpa ampun. Aku menyiksanya layaknya dia seseorang yang pantas mendapatkannya.

Namun tidak! Dia tidak pantas mendapatkannya.

Dia hanyalah seorang perempuan yang tidak bersalah. Dia seorang perempuan yang aku cintai. Dan aku melukainya hanya karena dia tidak membalas perasaanku.

***

Asa sassy af edition.

Hope you guys like the prologue bc me either. 

Unbreakable [ Book 2 ]Where stories live. Discover now