Sign of Leo : In Memoriam

2.3K 89 10
                                    

Sign of Leo :

In Memoriam

Ratusan nisan berderet rapi di sebuah area pemakaman umum. Hari masih pagi dan embun masih tersisa di helai rerumputan yang tumbuh liar di sekitar petak-petak makam. Seorang kakek melangkah lambat, tertatih-tatih menyusuri jalan kecil di antara barisan makam. Sesekali si kakek berhenti, meluruskan pinggangnya yang bongkok, mengistirahatkan pinggang, lalu melanjutkan perjalanannya. Cukup jauh dari posisi si kakek, dua orang pemuda tanggung mengintai si kakek dengan tampang curiga.

“Jo! Kakek yang kemaren dateng lagi tuh,” oceh pemuda pendek bantet. Namanya Maman.

“Ho-oh, Man. Ngapain ya tuh kakek?” tanggap pemuda satunya yang cungkring abis. Namanya Karjo.

Keduanya merantau dari desa mereka ke kota dengan cita-cita dapat kerjaan enak. Nyatanya yang mereka hadapi malah kejamnya kehidupan kota. Setelah luntang-lantung berhari-hari mereka terdampar di Pemakaman Umum Bukit Hijau. Atas belas kasihan Pak Ujang dan Bu Tini, suami istri pengurus area pemakaman, yang tidak tega kalau sampai Karjo dan Maman gentayangan di jalan lagi akhirnya memberi mereka pekerjaan di sana. Yang harus dilakukan Karjo dan Maman adalah kerja serabutan, mulai dari membabat rumput-rumput liar yang meninggi di area pemakaman, membersihkan makam-makam dari dedaunan dan ranting kering, sampai memugar dudukan makam bila ada pelayat yang meminta. Namun ada satu proyek yang ditunggu-tunggu keduanya  karena dari sana mereka bisa mendapat uang tambahan, yaitu menggali liang kubur. Menurut Pak Ujang hasil kerja mereka tidak cukup bisa dibanggakan, tapi mereka rajin dan penurut. Itu menjadi point penting untuk mempertahankan mereka.

Sejak hari pertama, Maman si gendut menyadari ada satu orang yang jadi langganan tetap datang ke komplek pemakaman mereka. Seorang kakek—tua pastinya—laki-laki pastinya. Yang menarik dari kakek itu adalah kedatangannya yang mirip hantu. Tiba-tiba muncul di tengah pemakaman. Itu menurut Karjo si cungkring. Sementara Maman bertutur bahwa si kakek mengeluarkan aura hitam. Tapi Bu Tini, tempat curhat mereka, menganggap Karjo melebih-lebihkan dan Maman mengada-ada. Mendapat respon begitu, Karjo dan Maman justru makin semangat buat menyelidiki si kakek. Karena itulah hari ini keduanya ngumpet dengan cara tengkurep di rerumputan dan menyembunyikan kepala mereka dengan ember merah menyala. Mereka pikir bersembunyi dengan cara itu sempurna dan tidak bakal ketahuan, tapi sebenarnya siapapun bisa langsung melihat mereka, dan langsung berkesimpulan ada dua orang tolol sedang bermain perang-perangan.

“Ngapain ya tuh kakek?” Karjo mengulangi pertanyaannya sambil memukul ember Maman karena tidak mendapat jawaban.

“Nggak tau. Mau semedi kali.”

“Masa semedi di siang hari bolong.”

“Siapa tau syarat pesugihannya emang begitu.”

“Iya juga ya.” Karjo menelan kemungkinan tersebut bulat-bulat.

“Si kakek makin jauh tuh, ayo dikejar,” kata Maman. Keduanya merangkak di rerumputan bagai pelatihan militer. Melompat ke balik pohon yang penuh baretan. Lalu berjalan dengan gaya bebek dilindungi pagar kecil. Maman berhenti tiba-tiba dan kepala Karjo nyungsep di pantatnya. Keduanya langsung berkelahi. Berguling-guling di rerumputan. Mendadak Maman ingat, “Si kakek?!”

Si kakek telah menghilang. Tak terlihat lagi. “Terakhir kali kuliat dia brenti di sekitar sini!” Karjo menunjuk suatu tempat.

“Bener!” akur Maman, “Aku juga liat. Nah ini nih… ini dia nih…” Maman heboh sendiri menunjuk ke sebuah makam dengan jari-jarinya yang gempal. Di atas nisan makam tersebut terdapat setangkai bunga tulip cantik. Tampaknya si kakek yang menaruhnya. “Pasti ini kembang tujuh rupa. Sesembahan,” Maman berseru ngasal.

“Atau sejenis kemenyan!” tambah Karjo tidak mau kalah. Seumur hidup, mereka belum pernah melihat tulip. Mereka membawa bukti tersebut ke hadapan Bu Tini lalu menceritakan segalanya. Bu Tini memukul kepala kedua pemuda itu dengan gayung. Dia meledak, “Dasar pemuda-pemuda sableng kurang kerjaan! Kalian tahu siapa kakek itu?!”

“Hantu?”

“Dukun?”

Bu Tini melotot, bibirnya berkedut-kedut. “Bocah semprul!”

“Sabar Bu…” kata Pak Ujang sembari menahan tangan istrinya yang bersiap menghajar Karjo dan Maman lagi dengan gayung. “Biar aku yang ngejelasin sama mereka.”

Bu Tini menurut setelah melempar pelototan terakhir pada Maman dan Karjo yang berpelukan dan ketakutan setengah mati. Setelah Bu Tini menghilang baru mereka berani menarik nafas lega. “Ayo kemari,” Pak Ujang memanggil, menyuruh mereka duduk di kursi rotan, dan menawarkan singkong rebus. Maman dan Karjo berebut mengambil sebanyak mungkin. Sambil ngemil singkong, Pak Ujang memulai ceritanya, “Nama kakek yang kalian sangka aneh-aneh itu adalah Kakek Joko. Beliau pemilik tanah ini sebelum disumbangkan jadi tempat pemakaman umum. Sedangkan makam yang dikunjunginya setiap hari adalah makam wanita yang paling dicintainya.

“Istrinya?” tanya Maman dengan mulut penuh singkong.

Beliau tidak pernah dan tidak akan menikah.” Jawaban Pak Ujang membuat Maman dan Karjo melongo. Pak Ujang mengangguk kecil. “Semua dimulai berpuluh-puluh tahun yang lalu. Saat Kakek Joko masih berumur delapan belas tahun. Dia memiliki seorang kekasih. Cantik, baik hati dan santun. Mereka mengikat janji untuk menikah. Gadis itu mengajukan sebuah syarat. Joko harus meminta restu ayah kandung si gadis yang tinggal di kota sebelah. Singkat kata Joko pun berangkat, mencari si ayah kandung. Dan menemukannya. Dia kembali ke sini membawa ayah kandung si gadis. Hanya untuk menemukan bahwa kekasih hatinya itu telah meninggal dunia pada sebuah kecelakaan di jalan raya. Joko muda berada pada titik kesedihan paling dalam. Mereka mengubur si gadis di tanah yang sebelumnya dipersiapkan untuk dibangun rumah tempat tinggal mereka. Sejak saat itu dia menutup hatinya pada setiap gadis lain yang berusaha mendekatinya. Tak ada yang bisa menggantikan kedudukan sang kekasih hati. Kemudian Joko tumbuh menjadi seorang pengusaha sukses. Sedikit demi sedikit membeli tanah-tanah di sekitar kuburan kekasihnya. Disamping itu, dia juga berbuat banyak kebaikan; membangun sekolah gratis, mendirikan rumah yatim piatu, menyantuni fakir miskin, menyumbang pembangunan mesjid, serta berbagai amal lainnya. Salah satunya memberikan area ini menjadi pemakaman umum pada pemerintah kota. Sebagai penghargaan, pemerintah bermaksud memperindah makam kekasihnya yang berada di tengah kompleks pemakaman, namun Joko menolak dan meminta agar disamakan saja dengan makam lainnya. Kakek Joko terus tanpa henti mencintai sang gadis meski tak lagi bersama di dunia fana ini. Dan tak pernah satu hari pun terlewat tanpa Kakek Joko datang ke pemakaman membawa setangkai bunga kesukaan si gadis—tulip.” Pak Ujang mengangkat bunga tulip yang dicuri Maman dan Karjo dari makam. Kedua pemuda itu menelan ludah mereka.

“Kalau boleh tau, siapa nama si gadis?”

“Ekawati Binti Baskoro.”

***

Kakek Joko mengejapkan matanya yang telah rabun. Terkejut sekaligus senang ketika melihat di atas nisan kekasihnya ada untaian bunga melati dan rangkaian bunga matahari. Dia bertanya-tanya siapa yang melakukannya. Sementara itu di kejauhan, Maman dan Karjo mengamati. Sebuah senyum merekah di bibir keduanya.

Í

Fuuuuhhhh…” Dini menghembuskan nafas sambil menyelonjorkan kaki. “Aku suka cerita begini. Cinta yang dalam, dan abadi. Sangat sukar mencari cowok begitu di kehidupan nyata. Aku berharap bisa menemukan salah satunya suatu hari nanti.” Dia memberi sebuah pandangan penuh arti pada Bayu.

Bayu mengangkat alisnya, bingung.

Midnight Magic ~ensikLOVEdia~Where stories live. Discover now