09

2.8K 316 2
                                    

Ini adalah kota Braven yang dulu. Kota ini berdekatan dengan kerajaan iblis. Dulu aku juga sempat tinggal di kota ini tapi... berada di perbatasan. Batas antara kota bangsa iblis dan penyihir. Sam menarik tanganku dan mengajakku bersembunyi di sebuah jalanan kecil.

"Kota ini masih tetap sama," ujar Sam.

"Jadi... sekarang apa?" tanyaku kebingungan. "kita tak mungkin masuk ke istana kan?"

"Kita akan bicarakan hal itu nanti. Sekarang, aku harus mencari ayahku."

"Okeee. Ayahmu seorang Raja dan dia sudah pasti berada di dalam istana."

"Saat sore begini aku sangat yakin dia tak berada disana," kata Sam. Dia diam sejenak untuk berpikir dan mengamati orang-orang yang berlalu lalang disana. "dia pernah cerita padaku kalau dulu dia sering datang ke jembatan itu saat sore hari," ungkapnya.

"Jembatan... itu?" tanyaku seraya mengangkat satu alisku.

Sam menoleh ke belakangku. "Jalanan itu cukup sepi. Kita lewat sana saja," katanya dan kembali menarik tanganku. Kami melangkah dengan cepat dan hampir seperti berlari saat melewati beberapa orang. Bukannya apa tapi pakaian kami berbeda dengan orang-orang di zaman ini jadi kalau kami ketahuan bisa-bisa kami dibawa ke istana dan takkan pernah kembali ke zaman kami lagi. Dan lagi aku juga baca dari buku kalau ada seorang penyihir yang berada di kota ini bisa jadi aku akan di usir.

Sam juga pasti tau hal itu. Karena itu sedari tadi dia selalu memasang raut wajah khawatir.

Kita akhirnya keluar dari keramaian kota dan menuju perbatasan. Disana hanya ada beberapa rumah dan keadaannya pun sangat sepi. Kami memasuki hutan yang dulu sempat juga kumasuki waktu kecil. Di zaman ini hutannya lebih rimbun kurasa, dan sedikit menyeramkan. Namun kami tak perlu berjalan terlalu jauh karena setelahnya kami melihat sebuah jembatan gantung.

"Ini jalan lain menuju kota bangsa penyihir. Jarang ada orang yang melewati jembatan itu," jelas Sam.

"Apa sampai sekarang masih ada? maksudku... di zaman kita?" tanyaku. Kulihat Sam diam sejenak seolah memikirkan sesuatu. Kemudian dia mengangkat kedua bahunya. "Entahlah Fal," desahnya, kemudian menoleh padaku sambil tersenyum. "aku sudah tak pernah melihatnya lagi. Aku hanya tau dari cerita," tambahnya.

Sam duduk di atas tanah dan aku pun mengikutinya. Hari sudah sore dan sebentar lagi malam akan tiba. Disini kita hanya perlu menunggu seseorang yang akan muncul di jembatan itu. Seseorang yang memulai awal 'larangan kedua bangsa untuk saling menyatu' itu. Di hadapan kami langit semakin lama semakin gelap. Di jembatan itu hanya ada dua penerangan saja di kedua ujungnya. Namun kami masih bisa melihat jika ada orang disana. Tempat yang kami datangi ini sepertinya sedang musim panas. Langitnya tampak cerah dengan ribuan bintang yang bagaikan permata. Bulan juga sedang bersinar dengan terangnya sehingga sedikit memberikan penerangan untuk kami disini.

"Sedang melihat bulan ya?" tanya Sam yang ternyata sedari tadi menatapku. Aku tersenyum. "Aku hampir lupa kapan terakhir kali aku melihat bulan seterang ini," ungkapku.

Aku melihat mata Sam yang kembali menatap ke jembatan itu. Sekarang mata itu memancarkan harapan, namun masih ada kekhawatiran. Sudah kuduga dia takkan menolak jika melihat kejadian kali ini. Karena buku tak selalu benar jika kita tak melihatnya kenyataannya sendiri.

"Sam," panggilku.

Dia menoleh. "Ya?"

"Liam bilang kau akan lulus lebih dulu dari Sleavton," kataku. "jujur saja aku agak terkejut mendengarnya tadi. Kau bahkan tak memberitahuku sama sekali."

Sam kembali memalingkan wajahnya. "Aku takkan berkomentar apapun untuk itu," katanya.

Aku juga ikut memalingkan wajah ke depan dan menghela napas. "Kuharap ada beberapa kenangan yang bisa kuingat sebelum kau benar-benar jauh," ungkapku. Kalau boleh jujur, sekarang aku benar-benar menahan air mataku agar tak keluar. Sam hanya diam. Aku tak berani menoleh. Aku hanya takut jika saat melihatnya aku akan menangis.

FALLEN (the Fiery Passion)#3Where stories live. Discover now