BAB IX

5.5K 325 2
                                    

David POV

Hari ini rasanya sangat melalahkan. Sepertinya pekerjaan nggak ada habisnya. Untuk makan siang pun cuma ada waktu setengah jam saja. Akhirnya aki memutuskan untuk memesan makanan siap saji. Dan disinilah aku, memakan nasi plus ayam goreng di kantorku.

Selamat tinggal kehidupanku yang penuh hura-hura dan kesenangan serta kebebasan. Ini semua gara-gara ibu yang terhasut omongan adiknya, tante Yosi.

Aku masih umur 28 tahun, dan menurutku umur segini belum waktunya berumah tangga. Aku sebagai anak tunggal keluarga Setiawan sudah pasti mendapat porsi warisan yang melimpah. Buat apa susah-susah kerja. Tinggal meneruskan yayasan sekolah yang sekarang dipegang ayah.

Di umurnya yang sudah hampir kepala 6, toh waktu ayah untuk memimpin yayasan tersebut tidak lama lagi. Makanya waktu yang tinggal sedikit bagiku untuk menikmati masa mudaku, masa lajangku.

Dengan wajah tampan, harta yang tujuh turunan nggak habis-habis, aku gampang banget cari cewek. Tiap kali aku nongkrong di kafe atau di klub ada saja cewek yang datang menawarkan diri untuk sekedar menemani, mengobrol, atau lebih lanjut lagi.

Aku cowok yang bebas, artinya aku males terukat hubungan dengan seseorang. Dan semua cewek yang ada di derkatku juga tahu hal itu. Intinya kami hanya berhubungan untuk saling 'menyenangkan' satu sama lain tanpa ada ikatan khusus.

Dan kembali lagi kenapa aku bisa terjebak di kantor ini. Tante Yosi membujuk ibuku untuk mengajari aku lebih bertanggungjawab. Awalnya, ibu curhat ke tante Yosi kalo aku sampe sekarang belum menikah, padahal temene-temen ibu sudah ada yang gendong 2 cucu bahkan lebih. Saran tante Yosi karena aku tidak punya modal yaitu pekerjaan atau usaha.

Masih menurut tante Yosi, cewek sekarang dan juga orang tua mereka masih menilai bahwa faktor ekonomi sebagai hal ytang utama. Walaupun aku dari keluarga kaya, semua itu vekum resmi milikku. Maka tante Yosi menyuruh ibu san juga ayah membuatkan usaha atau memberi pekerjaan untukku.

Ibu dan ayah serta keluarga besarku sepakat untuk memberi modal dan menambah usaha keluarga dengan membuat sekolah TK dan SD bertaraf internasional. Aku diberi tanggungjawab untuk mengelola TK sedangkan Lusi, sepupuku mengelola SD. Aku sempat protes kenapa aku 'dikasih' TK, dan jawaban mereka suapaya aku terbiasa jika nanti jadi orang tua. Sungguh jawaban yang mengada-ada dan tidak masuk akal.

Aku sudah bosan menuruti semua kehendak dan paksaan orang tuaku. Makanya aku sering berulah dan terkesan menjadi anak yang nakal sejak dulu. Tapi mau gimana lagi, mereka mengancam untuk menghapusku dari daftar penerima warisan.

Sebenarnya aku juga dibantu sama Thomas, sahabatku untuk mengurus TK ini. Awalnya aku senang karena aku bakalan menyerahkan semua tanggungjawab ke Thomas, fungsiku hanya tanda tangan dan menghadiri rapat. Ternyata ayah dan ibu sudah bersekongkol dengan Thomas. Dan disinilah aku, terjabak di ruangan 4x4 m dengan dekorasi dan warna cat yang membuat mata sakit.

Baru saja aku mau menyatap makan siang ini, hpku berbunyi. Nomor asing, ingin aku membiarkannya. Tante Yosi dan ibuku juga bekerjasama menjodo-jodohkan aku dengan anak kenalan mereka. Jadi akhir-akhir ini semakin banyak nomor asing yang menghubungi hpku.

"Selamat siang, ini dengan David Setiawan, ada yang bisa saya bantu?" kataku dengan nada sok resmi.

Entah mengapa, seperti ada yang menyuruhku untuk mengangkat telepon ini. Padahal seringkali aku mengabaikan telepon-telepon dari cewek-cewek itu, biarlah mereka meninggalkan pesan teks saja.

Aku heran, sama sekali tidak ada jawaban di ujung telepon sana. Apa firasatku yang salah, ini hanya telepon iseng dari cewek yang mau dikenalkan sama aku?

"Halo? Kalo nggak penting, nggak usah telpon aja. Ganggu makan siang orang aja," bentakku dengan nada kesal.

Agak lama tidak ada jawaban. Oke, level kemarahanku sudah sampai level 10 nih. Baru saja mau aku tutup telepon itu, penelopon itu menjawab dengan nada ragu-ragu.

"Maaf, saya dapat informasi dari Bu Yosi...," terdengar suara cewek di ujung sana, gugup dan ragu-ragu. Beneran nih, pasti ulahnya tante Yosi yang mau ngenalin aku sama cewek. Aduh, dari suaranya aja sudah bukan tipeku banget.

"Oke, nanti sore kamu ada waktu? Ketemu di kafe Rainbow jalan Gatot Subroto jam 6 yah."

Sekalian aja aku kerjain nih cewek. Mumpung aku lagi bete, banyak kerjaan, nggak ada ruginya kan main-main sebentar, itung-itung refreshing. Sekali-kali mencoba tipe cewek yang beda nggak ada salahnya ka? Keliatan banget, nih cewek tipe alim, pendiam, cupu juga.

"Oke, saya siapkan surat lamaran, daftar riwayat hidup, dan berkas-berkas lainnya," jawab cewek itu.

"Kamu mau ngelamar kerja?" aku balik bertanya.

"Iya, Bu Yosi memberi informasi kalau TK anda membutuhkan tenaga pengajar," jawab cewek itu dengan mantap. Keliatannya dia sudah bisa mengatasi rasa groginya.

"Oke, kamu bawa saja lamarannya lengkap dan serahkan langsung ke aku nanti jam 6 sore." Sudah terlanjur juga kan untuk membatalkan janjiannya.

"Apa nama dan alamat TK nya?"

"Sunrise Kindergarten, Jl. Gatot Subroto. Cafe Rainbow ada di depan TK itu persis."

Sebenernya cafe itu hasil kerjasama antara aku dan Thomas. Aku sengaja menyembunyikan hal tersebut dari orangtuaku. Dan Thomas juga lah yang lebih banyak menjalankan bisnis itu. Setelah aku dan Thomas fokus di TK, mungkin adik Thomas, Siska yang akan mengurus cafe tersebut.

Agak lama tidak ada jawaban. Saat aku mau menutup telepon, lagi-lagi cewek itu berkata, "Sampai ketemu lagi, David."

Aku terdiam, aku merasa sangat mengenal suara itu. "Maaf, maksud saya, sampai ketemu di kafe Rainbow jam 6 sore, Pak David," koreksi cewek itu sambil menekankan di kata-kata 'Pak'.

Dan tanpa menunggu jawaban dariku, cewek itu langsung mematikan sambungan telepon. Siapa cewek itu, kenapa ada rasa yang berbeda ketika mendengar suaranya. Aku merasa sangat mengenal suara itu. Dan bukannya tadi dia memanggilku David, bukannya Pak David selayaknya calon karyawan?

Aku jadi semakin penasaran dan tidak sabar menanti jam 6. Aku bahkan sampai lupa kalo aku belum makan, padahal sudah jam 2 siang. Siapa kamu? Mengapa hanyan dengan mendengar suaramu saja bisa mengangguku. Setahuku hanya satu orang yang bisa membuatku seperti ini. Apakah kamu kembali ke kota ini, apakah kamu kembali ke hadapanku, Maria?

***

RUNAWAYWhere stories live. Discover now