vermillion

856 71 59
                                    


•

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

   Hujan. Perempuan itu masih berdiri di samping gerbang.

   Tadinya, aku tidak peduli; ada hal lain yang harus kuperhatikan. Jadi, sebelum berpikir lebih jauh bahwa aku hanya membuang waktu dengan berdiri di sini dan mencuri pandang ke arahnya, kakiku mengambil satu langkah, dua, tiga, empat, lima, sampai terdengar suara.

   "Tunggu,"

   Dari belakang.

   Aku menoleh.

   Tentu saja harus menoleh. Hanya itu yang diinginkannya.

   NADEN menarik napas pelan dan mulai membalik halaman lagi. Cukup lantang dia bercerita sementara teman-temannya duduk mendengarkan. Kelas Malam tengah terbelenggu diam.

   "Terima kasih."

   Nad bergeming.

   Sengaja ia tak membaca halaman yang telah dibukanya. Ia tahu sesuatu: Naden harus segera angkat kaki.

   "Bravo! Bravo! Lanjutkan!" Ketua Kelas berdiri, bertepuk tangan, bilang hebat dan teramat cocok saat hujan begini. Semua tahu itu kepalsuan, namun tak ada yang berani membantah. "Aku nyaris tak berkedip ketika kamu tampil! Sungguh hebat!" katanya lagi, kini diiringi tangan yang mengusap mata.

   Naden merapatkan bibirnya, sadar tak ada yang normal. Setelah memberi salam dan membungkuk dalam-dalam, ia berpikir untuk lekas pergi menuju kursi paling belakang atau dirinya menyesal.

   Rencananya tidak semudah itu, pastinya.

   Memang tak ada perhentian mendadak dalam langkahnya yang mantap dan berpura-pura, tentu saja. Naden gemetar. Tentu saja seharusnya tidak. Karena di depan sana, Cendril sudah duduk bersama piano dan memainkan Fur Elise.

   Begitu sampai di kursi paling ujung, Naden terburu meraba saku celana, mencari naskah yang tadi dibacanya sambil setengah mati untuk tidak mendongak. Risikonya berat. Ia percaya rumor-rumor itu. Rumor yang mengatakan Kelas Malam tidak pernah ada, bahwa para muridnya adalah sekumpulan hantu yang menghuni gereja di hutan belakang sekolah. Rumor yang mulanya membuat Nad terpingkal-pingkal karena raut Cendril yang tidak meyakinkan.

   Rumor yang mengumumkan kematian Cendril.

   "Hei," Sebuah suara. Perempuan. Ketika Nad hampir membolakan mata, suara itu sudah terdengar lagi. "kau menikmatinya?"

   "Apa?" Pemuda itu separuh menoleh.

   "Persiapan pestanya. Kau menikmatinya?" Sekarang ia merasakan lengannya disikut sesuatu. Tetapi Naden mengangguk.

   "Kuduga begitu. Suasananya terlampau damai di sini." katanya. "Mungkin kau bertanya-tanya kenapa mereka tidak datang. Para guru, maksudku. Well," Perempuan itu melirik Naden, tersenyum, hingga kedua matanya menyipit. "tidak pernah ada yang tahu, sih."

   Naden tenteram. Bahunya melongsor. Pikirannya berucap, tak ada yang aneh dengan perempuan ini. Tidak ada.

   "Karena selalu diadakan malam hari?" tebak pemuda itu.

   "Bukan Kelas Malam kalau jadwalnya siang hari."

   Lalu, mereka larut dalam kikikan.

   Alih-alih melanjutkan topik, perempuan itu berkenal diri sebagai Aeil. Anggota klub musik. Ia di sini karena suatu hal yang melibatkan hobinya. Naden balas menjabat tangan. Ia berbohong soal mengapa ia di sini. Sedikit kebohongan takkan sampai membunuhnya, bukan?

   Naden pikir begitu. Setidaknya, saat ia kembali merunduk, menekuri lipatan naskah dan sadar jika kini sepenuhnya ia merasa baikan. Luapan takut itu berangsur menyusut. Suara piano di depan tidak sekeras tadi. Barangkali Nad akan bertanya apa ia boleh meminta nomor Aeil dan mengajaknya makan malam suatu hari. Barangkali mengabaikan Cendril akan baik-baik saja, dan lagi, menolak gadis itu, karena kau tentu tak mau berkencan dengan orang keras kepala.

   Ketika meyakinkan jika semua ini tidaklah nyata, Nad mulai membaca.

   Namun, sesuatu salah.

   Tokoh dalam cerita itu menoleh untuk menjawab teguran. Harusnya, selanjutnya mereka saling bertanya mengenai pentas seni sehabis pekan ujian. Si gadis, yang menginterupsi bahwa ia menunggu, seharusnya hanya gadis biasa. Seharusnya hanya karena mereka tidak bisa bersama lagi.

   Tunggu. Kenapa?

   Sewaktu di depan, Nad tidak membaca halaman ini, karena memang seharusnya tidak.

   Karena cerita ini adalah untuknya. Cerita yang ditulis oleh Cendril. Karena membacanya berarti bunuh diri.

   Tetapi, kini suatu kengerian muncul dan Nad pikir seharusnya ia tetap diam di panggung. Seharusnya ia membacanya.

   Aku lari. Terus berlari.

   Apa pun yang mengejarku, itu malapetaka.

   Tidak begini. Nad ingin berteriak. Seharusnya tidak begini. Seharusnya ia membacakannya sebelum semua berubah.

   Ketika menjumpai sebuah gereja dan meyakininya kuat-kuat, aku berbelok.

   Tuhan bersamaku.

   Tuhan meninggalkannya.

   "Hei,"

   Nad tidak dapat merasakan kakinya. Ia tahu suara itu. Namun ketika ia memutuskan untuk tidak menjawab, suaranya sudah terdengar lagi. "apa kau menikmatinya?"

   "Apa?"

   Harusnya ia tidak menjawab.

   "Pestanya. Vermillion membawa Cendril ke sini. Ia juga yang mengajakku. Ia penggagas pesta yang bagus."

   Nad meneguk ludah. Kepalanya menggeleng dan jantungnya berdebar. Denting piano belum berhenti. Nad tidak ingin mendongak. Tapi ia mendongak. Tangan-tangan itu memaksanya.

   Jikalau ia membaca... mungkin bagiannya akan berakhir dan Nad bisa keluar diam-diam.

   "Mereka hanya ingin mendengarkanmu," Pemuda itu teringat ucapan Cendril suatu hari. "dan setiap tindakan, selalu ada imbalan."

   "...kau menikmatinya?"

   Tidak.

   "Kalau begitu, bergabunglah." []

vermillion.Donde viven las historias. Descúbrelo ahora