Bab 1

1.3K 51 7
                                    

Tok..tok..tok..

Beberapa kali suara itu menggema di kamarku. Membuat kupingku berdengung mendengarnya. Dengan segera aku bangkit dan membuka pintu kamar dengan langkahku yang gontai.

Cklek.

"Persiapan sekolah, kutunggu dibawah setengah jam lagi." Ujarnya. 

Kulihat wajahnya dengan datar sambil menguap beberapa kali. Aku pun mengerang kecil. "Aku baru tidur pukul 4 pagi, yah." Ucapku dengan malas sambil melirik ke arah jam beker yang kutaruh di nakas samping ranjang ku. "Dan ini masih pukul 5 pagi."

Ia menggeleng kemudian berlalu dari hadapanku. "Ayah tak mendengar alasan lain". Katanya telak.

Aku mendengus dalam hati, selalu begitu, selalu seperti itu. Tak ada yang bisa kulakukan selain menurut padanya. Jika saja ibu tak menyuruhku mematuhi semua nasihatnya, aku tidak akan mau tinggal disini lagi bersamanya.


Sarapan pagi kali ini sangat tenang dengan dentingan sendok yang beberapa kali menggesek kaca piring. "Bagaimana sekolahmu?" tanyanya setelah ia menyesap kopi hangatnya.

Aku mengunyah makanan ku sebentar lalu menelannya. "Nggak ada yang istimewa. Biasa saja." Jawabku dengan tenang. Kulirik ayah yang sedang asyik mengunyah rotinya. Hela napasnya berat sebelum ia melihatku.

"Pukul berapa kamu tidur?"

"Empat pagi."

"Jangan tidur terlalu pagi. Kamu nggak bisa konsen di sekolah nanti."

Aku hanya mengangguk. Tak ingin melanjutkan percakapan yang tiap pagi tak pernah berganti topik. Selalu saja sama. Membuatku bosan dan jenuh. Setelah selesai, kami memutuskan untuk berangkat menuju sekolah dan kantor ayah. Dengan susah payah aku membawa tas sekolahku serta laptop yang menjadi barang wajib dibawa ku menjadi ribet sendiri. Belum lagi tumpukan kertas gambaranku yang tadi malam baru saja ku selesaikan. Ayah kembali menghampiriku. Berdiri didepanku menutupi cahaya matahari pagi, hingga dirinya tampak bagai siluet. Ia mengangkut barang-barangku yang membuat tubuhku tampak lebih kecil. "Terimakasih" kataku pelan setelah ia pergi dari hadapanku.

*****

"Ini sempurna sayang." Ucap bunda Fiona yang tengah meneliti hasil gambaranku. Aku tersenyum puas. Setidaknya ada bunda yang masih berada di pihak ku setelah ibu.

"Aku mengerjakannya satu bulan penuh bunda. Mana mungkin hasilnya jelek". Bunda terkekeh pelan lalu memelukku singkat.

"Aku sangat tahu sayang, kau pekerja keras." Ia tersenyum lembut. Parasnya yang cantik serta kelembutan hatinya membuatnya bak malaikat tak bersayap. Dan aku sangat menyayanginya.

Setelah pulang sekolah, aku memang memutuskan untuk Berkunjung ke studio bunda. Sebenarnya bukan studio musik, tapi studio untuk menggambar. Ia seorang editor terkenal di Indonesia. Karyanya banyak kukagumi dan mengena dihati. Tujuh tahun lalu aku bertemu dengannya di acara lomba menggambar manga tingkat SD. Dan aku menjadi juara 1 di sana. Itu adalah hal yang sangat membanggakan bagiku. Setelah itu, bunda mengajakku bekerja sama hingga sekarang aku menjadi komikus muda. Itu juga karenanya.

"Kamu nggak pulang Di?" Aku menoleh ke arah nya setelah ia bertanya.

Kepalaku menggeleng. "Aku masih ingin disini." Jawabku sambil tersenyum. Ia kemudian melanjutkan kegiatannya meninggalkanku yang larut dalam suasana senja yang hangat dan indah. Ku ambil gitar yang kemarin kutinggalkan disini. Langkahku beralih ke balkon yang menunjukkan langsung danau buatan di studio rumah bunda Viona. "Indah" gumamku kecil. Aku duduk di kursi putih yang sengaja diletakkan disana. Menghirup udara dalam-dalam, meresapi setiap hembusan napas yang kuterima. Warna kemilauan langit jingga begitu elok di mataku. Kemudian menghembuskan nya bersamaan dengan ribuan harapan besar di benakku.

Ku harap, aku bisa tampak di mata ayah. Aku sudah lelah menjadi bayangannya. Bayangan yang selalu ada tapi jarang untuk disadari keberadaannya.

Perlahan kupetik senar gitar ini hingga menjadi nada-nada indah yang mengalun pelan.

Aku hanya memanggilmu...ayah..
Disaat ku kehilangan, ayah.
Aku hanya mengingatmu.. ayah..

"Diera" Panggil ayahku dari belakang menghentikan nyanyianku. Dengan gerakan cepat, kuhapus sisa air mata yang tanpa sadar kuteteskan sedikit demi sedikit. Aku menoleh ke arahnya. Benar saja, ia berdiri dan tersenyum. "Ayo pulang, Ara baru saja datang. Ia mencarimu." Ucapnya lembut. Kulihat kemeja dan jas masih menempel membalut tubuhnya. Ia tampak kelelahan. Aku mengangguk dan menghampirinya sambil menenteng gitarku.

Tepat setelah aku sejajar dengannya, aku mendongak menatap wajahnya. Setitik air mata singgah di sudut matanya. Apa dia sedang menangis? Tapi kenapa? "Suaramu cukup indah" ujarnya yang langsung membuat jantungku berdebar. Ingin rasanya kupeluk pria di sebelah ku ini. Namun ku urungkan saja niatku, aku tak yakin ia akan menyukainya.

Malam itu, aku merasa lebih dekat dengannya. Aku merasa ia mulai melihat ku dengan seluruh yang kumiliki. Bukan hanya Ara.

____________________________________
____________________

Selamat membaca, maaf kalau membosankan atau nggak nyambung.

But, have a nice read.
Vomment ya jangan lupa..😊😊😊

Ayah, Lihatlah Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang