1 - The Wedding

309K 9.7K 351
                                    

RIAN

"Adrian Wijaya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Diana Andira Sofyan binti Alm. Suryandi Sofyan dengan maskawin seperangkat alat sholat dan kalung emas, dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Diana Andira Sofyan binti Alm. Suryandi Sofyan dengan maskawin tersebut, dibayar tunai."

"Sah?"

"SAH!"

"Alhamdulillah..."

Gue ikut mengangkat tangan saat penghulu mulai memanjatkan doa. Sementara lantunan 'amin' terdengar, gue melirik perempuan berkebaya putih yang duduk di sebelah. Diana Andira Sofyan. Istri gue.

Kata terakhir membuat bulu kuduk gue meremang. Sialan.

Gue mengalihkan pandangan ke sisi lain, di mana Nyokap juga sedang khusyuk mendengarkan doa. Sesekali Nyokap mengusap sudut matanya, terharu. Tapi senyumnya nggak juga surut. Pemandangan itu bikin gue mikir kalau pengorbanan ini worth it. Kalau nikah sama sapi bikin nyokap gue bahagia, dengan senang hati gue juga bakal nikahin sapi.

Persetan dengan cinta. Senyum Nyokap lebih penting.

"Amin ya robal'alamin..."

Doa itu berakhir.

Gue menarik napas panjang. Bukannya bikin lega, gue makin ngerasa ada beban berat di bahu gue. Gue udah jadi suami.

Shit.

GUE UDAH JADI SUAMI!

Sinting.

Petugas KUA menyodorkan lembaran kertas dan buku nikah ke hadapan gue dan Dee. Iya. Bini gue. Kami disuruh tanda tangan, dan tetekbengek lainnya. Begitu selesai proses berlanjut. Gue mengambil salah satu cincin di kotak perhiasan, yang berukuran lebih kecil, dan memasangkannya di jari manis istri gue.

"Cium dahi istrinya."

What?

Gue menatap Dee, yang lebih banyak menunduk sejak tadi. Saat mendengar perintah cium-cium itu, dia baru mendongak, menatap gue. "Boleh?" tanya gue.

Dia cuma mengangguk.

Oke...

Gue cium dahinya. Sekilas.

Giliran Dee menyematkan cincin satunya di jari manis gue. Gue beneran berharap cincin itu nggak pas, biar gue nggak perlu pake. Sialnya, cincin itu meluncur mulus hingga ke pangkal jari manis kanan gue. Cincin titanium, supaya sewarna dengan emas putih yang dipakai Dee, yang beratnya cuma 3gram, rasanya kayak satu ton.

Gue speechless saat Dee mencium punggung tangan gue, sebagai bentuk bakti seorang istri. Seumur-umur, yang pernah nyium punggung tangan gue cuma keponakan. Baru kali ini ada perempuan seumuran yang nyium punggung tangan gue, dengan hormat pula.

Astaga...

Selesai proses tukar cincin, gue menyerahkan maskawin ke Dee. Nggak lupa pose senyum tiga jari supaya para undangan, dan Nyokap, percaya kalau pernikahan ini bikin gue bahagia. Kelar itu, dilanjut sungkeman dan berbagai pagelaran lainnya.

Ini baru akad. Masih ada resepsi nanti malam dengan seribu tamu undangan.

Ya Tuhan... cabut nyawa gue sekarang, please!

**

DEE

Aku nggak tahu harus lega atau mulai cemas saat semua pagelaran pernikahanku dan Rian berakhir. Resmi sudah kami menyandang status suami-istri. Rasanya melelahkan. Rian ngotot ingin akad dan resepsi langsung di satu hari, supaya cepat selesai, nggak bertele-tele. Aku, sebagai calon istri yang baik, hanya bisa menurut.

Sebenarnya, ibu mertuaku yang lebih sibuk mengurusi semua persiapan hari ini. Aku dan Rian hanya tinggal berkomentar, lalu datang sebagai mempelai.

Dan sekarang, aku dan dia sudah berada di kamar hotel, honeymoon suite, di hotel yang sama tempat resepsi kami berlangsung, untuk melewati malam pernikahan. Aku benar-benar gugup. Bukan hanya karena ini akan menjadi pengalaman pertama untukku, tetapi juga karena banyak cerita yang kudengar tentang Rian.

Seharian ini, aku dan Rian belum mengobrol sama sekali. Kami hanya berinteraksi seperlunya. Ini pertama kalinya aku hanya akan berdua dengannya di satu ruangan.

Pintu kamar mandi terbuka. Aku refleks memalingkan wajah saat Rian keluar hanya dengan handuk membelit pinggangnya.

Dia tampan, kuakui saja. Kulitnya kecokelatan, khas laki-laki Indonesia, dengan otot-otot kencang dan pas, nggak terlalu besar. Dari pantulan cermin, aku melihatnya membongkar koper untuk mengambil pakaian. Punggungnya sangat bidang, menggoda untuk dipeluk.

"Mandi aja, aku udah," ucapnya, tiba-tiba.

Aku masih mengenakan gaun pernikahanku. Hanya make-up dan tatanan rambut yang sudah kubongkar. Aku tadi sudah akan melepaskan gaunku, namun resletingnya menyangkut. "Bisa tolong?" pintaku, menunjukan punggung ke arahnya dengan wajah merah. Jika bisa, aku memilih melakukannya sendiri.

Aku menunggu beberapa saat, karena tidak ada gerakan apa pun darinya. "Ng... resletingnya nyangkut," gumamku. "Aku nggak bisa..."

"Oh." Baru saat itu dia mengerti, menurunkan resleting gaunku hingga bawah. "Udah."

"Makasih," ucapku, seraya buru-buru ke kamar mandi sebelum dia melihat punggung telanjangku.

Aku sengaja berlama-lama di kamar mandi, selain karena rambutku juga butuh dibasuh berulang kali untuk menghilangkan spray-nya. Juga berharap Rian sudah ketiduran supaya kami bisa menunda... malam pertama.

Pikiran itu membuat pipiku bersemu.

Banyak cerita yang mengatakan malam pertama itu menyakitkan. Membuat berdarah dan semacamnya. Aku benar-benar nggak punya bayangan bagaimana rasanya. Di pesta lajangku dua hari lalu, tiga sahabatku mengadakan pesta piyama yang diisi dengan menonton film porno. Aku lebih banyak menutup mata karena malu daripada ikut menonton. Tapi mereka memaksa, supaya aku punya bekal katanya.

Sekarang aku sedikit menyesal nggak menonton dengan sungguh-sungguh. Dibandingkan Rian, aku masih sangat amatir untuk urusan itu.

Aku nggak tahu berapa lama di kamar mandi. Setelah merasa nggak ada lagi yang bisa kulakukan untuk mengulur waktu, aku akhirnya kembali ke kamar. Doaku nggak terjawab. Rian sudah berbaring di ranjang king size kami, bertelanjang dada, dengan kedua lengan di bawah kepala, dan matanya menatap layar TV. Aku merapatkan jubahku tidurku.

Aku duduk di tepi kasur, melepaskan jubahku, lalu bergerak cepat menarik selimut hingga ke dada. Rian menoleh.

Jantungku berdegup kencang. Mata hitamnya sangat... menarik. Dinaungi bulu mata hitam, dengan alis tebal. Hidungnya mancung, lurus. Dengan bibir agak kemerahan. Bagian atas bibirnya sedikit lebih tebal dari bagian bawah. Seksi.

Nggak munafik. Fisik Rian sangat bisa membuatku tertarik. Siapa yang nggak? Dia mungkin salah satu makhluk Tuhan paling menawan yang pernah kutemui. Aku yakin ribuan gadis di luar sana banyak yang mengutukku diam-diam karena bisa menjadi istrinya.

"Capek?" dia bertanya.

Apa itu pertanyaan jebakan?

"Lumayan..." jawabku. Jawaban aman.

Dia mematikan TV. Jantungku makin melompat-lompat nggak karuan. Terutama saat Rian juga meredupkan lampu.

"Night," ucapnya kemudian, berbaring memunggungiku.

Heh?

Aku menghembuskan napas lega. Sepertinya dia juga lelah, hingga belum berminat melakukan apa-apa malam ini. Lagi pula, kami belum terlalu mengenal untuk langsung melakukan hal intim itu. Mau tak mau, aku bersyukur. Doaku terkabul.

Dengan hati lebih tenang, aku balas memunggunginya dan memutuskan tidur.

**

Tied The KnotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang