Tears

5.2K 56 0
                                    

Aku tak pernah merasakan ini sebelumnya. Ah, apa yang aku lakukan? Kini aku sendirian. Rintik hujan memberiku nyanyian sebuah lagu sedih. Seharusnya aku tak melepaskannya. Melepaskan pelukan hangat dari seorang gadis sebaik dia.

"Aku harus ke London." Elena memelukku erat. Air matanya jatuh begitu saja.

"Lalu? Aku harus bagaimana? Melarangmu? Menahanmu? Aku tak bisa Elena." Mataku tak bisa menatap gadis ini. Seharusnya aku melepaskannya sejak dulu.

"Elena ingin terus bersama Jerry." Ia memelukku makin erat. Ada jutaan cinta disana.

"Pergilah." Aku melepaskan Elena. Gadis yang tak seharusnya menjadi milikku.

Aku bisa melihat rasa sakit dimatanya. Air matanya berderai menatapku. Ia tarik kopernya semakin menjauh. Aku tau apa yang ia rasakan. Ia bukan gadisku lagi. Elena harus pergi.

Pesawat itu menghilang dengan cepat. Lunglai, kukendarai mobilku menuju rumah. Apa aku salah melepas Elena? Aku tak bisa menahan lagi. Kuhentikan mobilku di sudut jalan taman. Sepi. Aku biasa bersama Elena. Aku terlalu terbiasa. Hingga aku sulit melepaskannya. Rintik hujan ini mengingatkanku pada awal pertemuanku dengan Elena.

***

Gadis baru di kelasku itu sangat ramah. Ia tak sungkan berkenalan dengan semua anak 1 kelas. Termasuk kepadaku.

"Jangan pria itu. Dia terlalu pendiam. Dia bisa menyakiti perasaanmu." Kata salah satu temannya.

"Benar, Elena. Sebaiknya kau menjauhi pria itu. Bahkan tak ada satupun dari kami yang pernah berbincang panjang dengannya. Ia lebih banyak diam." Kata temannya yang lain.

"Kalian tak usah khawatir." Kata Elena menampilkan senyum.

Elena menghampiriku. Ia menunjukkan senyum termanis yang menurutku biasa saja. Aku tak terlalu memperdulikannya. Aku membaca komik ku kembali. Gadis ini terus menggangguku. Mencari cara untuk ngobrol denganku. Untuk terakhir kalinya, ia menyingkirkan komik ku. Meletakannya di balik tubuh kecilnya itu.

"Apa maumu?" Bentak ku. Elena malah memasang wajah tak perduli.

"Kembalikan komik ku sekarang!" Bentak ku. Ia masih diam.

"Sebaiknya kau pergi!" Kini ia mau menatapku.

"Seharusnya kau lebih banyak bersosialisasi dengan kami." Kata Elena. Ia mengembalikan komik ku.

"Untuk apa?" Tanyaku datar. Ku buka kembali lembaran yang kubaca tadi.

"Apa kau tidak tidak butuh teman?"

"Tidak."

"Teman bisa mendengar seluruh masalahmu."

"Dan membocorkannya pada yang lain?"

"Mmm, itu bukan teman. Tapi kau bisa percaya padaku."

"Trima kasih." Kata ku bangkit.

Gadis itu tak punya lelah. Setiap hari ia berusaha mendekatiku. Meski ia tau pasti bagaimana akhirnya. Aku akan meninggalkannya begitu saja. Dia punya lebih banyak akal dari yang pernah ku fikirkan. Bukan hanya mendekatiku di sekolah. Kini dia juga mencari tau alamat rumahku. Mengikutiku sepulang sekolah. Aku sangat terganggu. Tak pernah ada teman sekolahku yang tau alamatku sebelumnya.

Istirahat sekolah, ia kembali mengikutiku. Aku sudah mencoba untuk diam. Tapi dia tak berhenti mengganggu. Aku berbaring di atas pohon belakang sekolah. Menutup wajahku dengan buku. Ah, gadis ini terus berteriak dari bawah.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?" Tanyaku jengkel.

"Berkenalan." Jawabnya dengan penuh kebahgiaan.

Cerpen RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang