Lady

36 7 0
                                    

"Lo? Ketua OSIS? Hah! Yang benar aja!"

Lady menatap sengit cowok di hadapannya. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menahan marah dan bingung sampai pipinya memerah. Teman-teman sekelasnya menatap dua orang yang berdiri berhadap-hadapan dengan wajah sengit di tengah-tengah kelas, dalam hening. Tidak ada satu orang pun yang berani mengeluarkan suara sekecil apapun.

Semua orang di kelas itu sangat tahu, harga diri Lady sangat tinggi. Tentu saja direndahkan seperti itu membuatnya marah, apalagi menyangkut soal gender.

"Lo pikir gue cewek, jadi gue nggak mampu memimpin, gitu?" balas Lady sengit. Kedua tangannya kini terlipat di depan dada. Ia mengangkat dagu tinggi-tinggi untuk mengangkat harga dirinya. "Dan lo pikir, lo cowok, jadi lo bisa seenaknya aja terhadap gue?"

William balas menatap Lady, menantang gadis itu. "Lo cewek lemah, Lady! Lo nggak bisa memimpin OSIS sekolah kita, apalagi membawanya lebih maju! Cewek itu berpikir dengan perasaan, bukan dengan logika!"

"Berpikir, lo bilang? Hah!" dengus Lady. "Mengambil keputusan, maksud lo? Begitu aja salah! Gimana lo mau memimpin OSIS? Mau jadi apa anak-anak sekolah kita di bawah pimpinan lo?"

"Lo nggak usah sombong, Dy! Ini cuma voting anak-anak sekelas buat kandidat calon ketos. Suara buat lo memang lebih banyak daripada gue, tapi tetap gue yang jadi ketua!"

"Coba tanya anak-anak," Lady menyapukan pandangan ke seluruh anak di kelasnya, "siapa yang lebih pantas jadi kandidat ketua, gue atau lo!"

"Cewek manja dan merepotkan seperti lo itu nggak cocok jadi pemimpin! Selama jadi ketua kelas ini, memang lo pikir, lo menjalankan tugas dengan baik, gitu? Lo sadar nggak, sih, selama ini yang buat keputusan-keputusan itu selalu gue, wakil lo!"

Lady tertohok keras. Ia tidak percaya William bisa mengatakan kata-kata sejahat itu. Sejak tahun ajaran baru dimulai, Lady memang sudah menjabat sebagai ketua kelas. Wakilnya adalah William. Dan selama ini, William selalu banyak membantunya, selalu baik pada Lady. Bahkan, William selalu bisa diandalkan saat Lady berhalangan hadir ke rapat-rapat, atau Lady bimbang memutuskan.

Ternyata, selama ini William tidak tulus melakukannya.

Mati-matian Lady menahan air matanya agar tidak tumpah di depan wakilnya yang telah mempermalukannya di depan teman-teman sekelas. Lalu, dentuman keras pintu beradu dengan tembok kelas membuat seluruh pasang mata anak-anak di kelas itu menoleh ke pintu, termasuk Lady dan William. Seringai Rayhan membuat darah Lady tidak lagi tinggi. Wajahnya tidak semerah tadi, bahu dan lehernya sudah lebih rileks. Ujung bibirnya terangkat sedikit.

"Ada ribut-ribut apa, nih?" tanya Rayhan sambil memandang seluruh isi kelas. "Kok pada diam aja? Will sama Lady ribut lagi?"

Jose beringsut ke belakang Rayhan, lalu membisikan sesuatu yang membuat Rayhan mengangguk-angguk. "Oh gitu. Ya ampun, kalian ya, begitu aja kok sampai ribut besar, sih? Kirain ada apaan!"

"Menurut lo, cewek bodoh kayak Lady pantas memimpin OSIS kita?" tanya William, masih sengit. "Yang dari dulu menang vote karena dia ditakuti teman-temannya."

Rayhan menghela nafas, lalu berjalan perlahan dan duduk di samping Lady yang berdiri di sebelahnya. "Lo berdua nggak pantas memimpin OSIS."

Satu kelas yang sedang terkikik langsung bungkam saat ditatap sengit oleh Lady dan William.

"Karena," Rayhan menggoyangkan telunjuknya dengan santai, "masalah sepele begitu aja, lo bisa kepancing. Dan lo, William," Rayhan menunjuk William, "meremehkan orang lain. Apa lo pikir lo bisa memimpin dengan kepribadian kayak gitu?"

"Lo mantan ketua kelas, mendingan sekarang lo diam aja," desis William. "Ini di antara gue dan Lady."

"Lho," Rayhan berdiri dan mendekati William, "gue sahabat Lady. Gue bebas dong, ikut campur urusan sahabat gue sendiri?"

"Gue yang akan jadi kandidat dari kelas kita. Gue nggak peduli kalian setuju atau nggak, gue akan lapor langsung ke ketua panitia pemilihan ketos tahun ini." William berkata final.

***

"Gue benci banget sama itu cowok!" Lady berteriak sekencang-kencangnya tanpa peduli berpasang-pasang mata menatapnya heran. Ia hanya ingin menghilangkan sesak di dadanya karena perkataan William. "Bisa-bisanya dia meremehkan gue, Han! Selama ini, gue memimpin kelas bareng dia, ternyata selama ini dia gila kekuasaan!"

Rayhan terkekeh. Ia duduk bersandar pada salah satu pilar di luar kelas mereka. Jam pemilihan kandidat sudah selesai. Kini seluruh siswa-siswi SMA Harapan 3 diperbolehkan menikmati waktu istirahat sampai bel kembali berbunyi nanti. Lady menatap jengkel ke dalam kelas.

"Memangnya salah kalau cewek yang mimpin OSIS kita?" tanyanya pelan.

Rayhan menggeleng. "Nggak salah."

"Terus," Lady bergumam seraya duduk bersandar pada sisi pilar di kanan Rayhan, "kenapa Will bisa ngomong gue nggak pantas memimpin? Karena gue cewek yang nggak bisa ambil keputusan, ya? Dan..." Lady ragu sejenak, "memangnya benar, teman-teman pilih gue karena mereka takut sama gue?"

"Sebenarnya bukan takut, Dy," sahut Rayhan, "mereka segan sama lo. Mereka menganggap lo berkharisma, lalu mereka merasa nggak sanggup berteman, bersanding dengan lo. Bahkan Will yang cowok pun, sebenarnya merasa segan dan tersaingi karena lo."

"Han, gue pengen banget jadi ketua OSIS," tutur Lady menerawang. "Tapi dengan peristiwa kayak gini, gue jadi menilai ulang penilaian gue terhadap diri sediri. Sepertinya gue nggak cocok jadi ketua, ya? William itu ada benarnya, Han. Gue terlalu manja, mengandalkan wakil gue."

"Dy, kita sudah bilang ke ketua panitia pemilihan tahun ini, kandidat ketua dari kelas kita itu lo, Vi, bukan Will," Jose menghampiri Lady dan Rayhan dengan takut-takut. Ia bahkan tidak berani menatap mata Lady lebih dari dua detik.

Lady menghela nafas menatap Jose. "Thanks, Se. Tapi, maaf. Kayaknya gue harus mundur kali ini. Biar Will aja yang jadi kandidat kita."

"Dy, nggak boleh gitu!" Rayhan memutar tubuhnya sampai bisa leluasa menatap Lady. "Teman-teman sekelas sudah percaya sama lo, lo nggak boleh mundur."

Lady menggeleng, lalu menatap Jose. "Se, tolong bilang sama ketuanya kalau Will kandidat dari kelas kita, ya, bukan gue."

Jose menatap Lady dan Rayhan bergantian, ragu-ragu. Lalu saat tatapannya bertemu dengan Lady, ia segera mengangguk dan berlalu dari sana.

"Oh, sekarang sudah sadar diri nih, ceritanya?" goda Rayhan. "Sudah bisa dikalahin mentalnya sama cowok begituan? Sudah terima dibilang kalau lo cewek manja, nih?"

Harga diri Lady terusik. Benar juga Rayhan. Lady bukan gadis manja. Ia juga tidak pernah terlihat lemah, tidak pernah terlihat kalah, tidak pernah terlihat jatuh. Kali ini, ia kalah mental dengan William. Ia dengan mudahnya dijatuhkan karena hal seperti itu.

"Will pasti sudah rencanain semuanya, Dy, buat bikin lo mundur dari pencalonan itu." Rayhan mengangkat bahu. "Tapi, itu cuma dugaan gue aja, ya, Dy. Kesannya gue nuduh dia banget, padahal gue cuma mau bikin lo sadar lagi."

"Jadi, gue harus apa sekarang, Han?" Lady balik menatap Rayhan. Perasaannya membaik sedikit demi sedikit melihat senyum Rayhan yang terus tercetak di bibirnya tanpa pernah pudar saat Lady melihatnya.

"Lady yang gue kenal itu, nggak kenal takut, nggak kenal manja, nggak kenal capek. Selalu berani, selalu menantang, selalu memikirkan orang lain kalau mengambil keputusan. Gadis yang baik. Pemimpin yang kharismatik dan disegani. Gadis yang berprinsip dan nggak peduli apa kata orang. Gadis yang cantik, seperti mawar merah yang anggun. Gadis yang kuat. Gadis yang percaya diri. Benar-benar seorang lady."

Lady menatap Rayhan bingung, lalu, "Iya, makasih pujiannya, Han. Terus, gue harus apa? Jangan sampai gue ulangi tiga kali ya, pertanyaan gue."

Rayhan terkekeh, lalu tersenyum yakin. "Jadilah Lady yang gue kenal. Dan percayalah, lo cewek yang layak memimpin OSIS, apalagi kelas kita."

Lady [ONESHOOT]Onde histórias criam vida. Descubra agora