Involved [12] - Intensitas

3.6K 273 8
                                    

Devan mengecek suhu badannya dengan menggunakan punggung tangannya. Agak panas. Mungkin karena semalam ia begadang, aktivitas yang seharusnya ia hindari.

Sekarang sudah jam pulang sekolah dan ia ada ekstra basket. Rissa sendiri mau menunggunya, tentunya disambi dengan membantu misi Febrian. Perempuan itu bercerita banyak mengenai hal yang berkaitan dengan Febrian ke Devan. Devan sebenarnya tidak suka jika perempuan itu bercerita tentang Febrian, namun tidak mungkin juga kalau Devan bersarkasme ke Rissa.

Sebagai sahabat sekaligus pendengar yang baik, Devan mampu mendengar apapun yang diceritakan oleh Rissa. Sekalipun itu menyakitkan.

Devan sadar, kalau ia terlambat. Ia terlalu takut dirinya pergi secepat itu ketika ia dan Rissa sudah menjalin hubungan lebih dari sahabat. Rissa terlalu berharga untuk ditinggali. Maka dari itu, Devan berpikir dua kali akan menyatakannya sekarang, atau nanti.

"Cui!"

Kontan Devan membalikkan badannya. Seseorang yang menepuk bahu sekaligus memanggilnya ternyata Samuel.

"Ngapain masih diem di situ? Lo gak ganti baju?" tanya Samuel kasual.

Teknisnya, sekarang mereka berada di ruang ganti.

Devan mengedikkan bahu, "Ini gue mau ganti."

"Rafa, bentar dulu deh," panggil laki-laki itu asal.

"Sialan! Nama gue Devan!"

Samuel mengamati tubuh Devan dari atas sampai bawah. Laki-laki yang diamati itu merasa risih lalu membentak, "Apaan, sih! Kalo naksir bilang!"

Dan Devan langsung meninggalkan Samuel. Namun, langkah Devan terhenti tiba-tiba karena ucapan asal Samuel.

"Gue tau fisik lo enggak sehat. Lo punya penyakit serius, tapi kenapa masih maksain buat ikut basket? Apalagi bentar lagi ada turnamen," jelas Samuel to the point. "Lagian nama lo juga ada Rafanya 'kan? Bagus Rafa, ah, menurut gue."

Pundak Devan merosot begitu saja.

"Gue enggak ngerti maksud kalimat lo yang pertama."

"Gue tau lo itu menutupi semuanya," Samuel menggaruk lengan bagian kirinya yang tiba-tiba terasa gatal, "Lagian, sampe kapan, sih, elo sok kuat gitu?"

◾◾◾

Satu pasang suami-istri itu sibuk menjalani aktivitasnya masing-masing. Kebetulan hari ini keduanya memutuskan untuk libur bekerja, dan di sinilah mereka, ruang kerja pribadi yang ada di rumahnya.

"Papa liat, Devan semakin ke sini bukannya semakin membaik, tapi kok malah semakin memburuk ya?"

Wanita yang berstatus sebagai istrinya itu hanya bisa mendesah panjang, ia sudah tidak bisa lagi berkonsentrasi pada novel yang sedang dibacanya karena suaminya mempertanyakan masalah anak sulungnya.

"Emang Papa enggak tau?" tanyanya balik seraya mengembalikan novelnya ke dalam rak besar dan berkualitas itu.

"Tau apa, sih, Ma?" Membiarkan laptopnya yang menyala, pria itu bertumpu dagu, lalu memijat pelipisnya. "Papa jadi sedih liat Devan enggak bisa nemenin Papa buat main basket lagi, juga main billiard. Kalo ngajak Dafa buat main, anak itu enggak bisa diandalin."

Wanita itu terkekeh hambar, "Papa ngelarang dia buat main basket, tapi Papa enggak tau seberapa keras usahanya buat tetep ikut basket di sekolahnya, apalagi kalo nemenin Icha main basket. Dia selalu berjuang biar enggak keliatan lemah."

Seperti ucapan tabu, pria itu kini hanya menggeleng keras. Mengapa baru sekarang istrinya memberi tahu soal ini? Ini bukan persoalan sepele.

"Mama tau 'kan? Devan mengalami penyakit yang serius, Ma. Papa juga liat akhir-akhir ini Devan mukanya gak pernah seger. Kalo dia tetap maksain untuk melakukan apa yang dia mau, sama aja dia itu bunuh diri. Bahkan hidupnya enggak bisa—"

InvolvedDonde viven las historias. Descúbrelo ahora