I Wanna Die in Your Arms

214 34 18
                                    

"Tumben lo mau ngobrol malem-malem gini. Kenapa?"

Skylar Theresia—Thea, gadis itu tersenyum. Ia menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, menyuruh cowok yang baru saja sampai di atap rumahnya, Liam untuk duduk di sampingnya.

Setelah merasakan kehadiran Liam di sebelahnya, Thea kembali berujar, "Gapapa," ujar gadis itu. Lantas ia kembali tersenyum menatap Liam dari balik bulu matanya. "Kangen aja ngobrol bareng," lanjutnya.

Liam mengernyitkan dahinya, menatap Thea heran tapi ia tetap terkekeh juga. "Te, kita baru aja ngobrol kemaren."

"Iya, tau kok," balas Thea seraya memalingkan pandangannya ke depan. Kini matanya menatap langit luas ditemani oleh lampu-lampu kota yang terlihat indah dari atas atap rumahnya.

"Tapi—" omongan Thea baru saja terhenti karena tiba-tiba gadis itu terbatuk-batuk dengan keras membuat Liam refleks menengok ke arah gadis yang duduk di sebelahnya itu. Thea hanya bisa menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan kanan seraya mencoba menormalkan kembali keadaan paru-parunya yang masih memaksa dirinya untuk batuk.

"Te, lo gapapa?" tanya Liam khawatir. Tangannya mengelus lembut rambut Thea yang belum sempat ia cuci sejak kemarin. Sedangkan Thea, masih terbatuk-batuk walau Liam sudah menepuk pelan punggungnya.

Beberapa detik berikutnya, gadis itu berhenti batuk. Ia berhenti menutup mulutnya dengan telapak tangan mungilnya itu, lalu menengok ke arah Liam dan tersenyum.

"Te, lo sakit?" tanya Liam dengan sorot mata penuh kekhawatiran.

Thea menggeleng pelan. "Gue baik."

Kali ini, gantian Liam yang menggeleng. "Lo bohong," katanya. Cowok itu menggeser tubuhnya lebih dekat ke arah Thea. "Te, kalo lo sakit, gue bisa anter lo ke rumah sakit," lanjutnya.

Thea menggeleng lagi untuk kesekian kalinya. "Nggak, Li. Tenang aja," ujar gadis itu mengelak. Thea memeluk lututnya sendiri, entah karena ingin merasa nyaman atau karena ia kedinginan.

Menyadari perubahan posisi Thea, Liam menarik tangan gadis itu. "Ayo, Te, turun. Lo harus banyak istirahat," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari Thea.

Gadis yang menjadi lawan bicara Liam itu menggeleng lagi dan lagi. Lalu ia melepas genggaman tangan Liam seraya berkata, "Masih banyak hal yang pengen gue omongin sama lo, Li."

"Apa?" tanya Liam buru-buru.

Liam bergerak gelisah bukan karena ia ingin cepat-cepat menyudahi pembicaraan mereka malam itu, bahkan tidak ada satu alasan pun di benaknya yang membuat Liam ingin cepat-cepat menyudahi pembicaraan mereka. Ia malah ingin bersama Thea lebih lama. Bersama gadis itu, lebih lama lagi bahkan selamanya.

Namun, cowok itu kelewat khawatir Thea benar-benar sakit dan butuh banyak istirahat. Setidaknya dengan mereka tidak saling sapa dengan angin akan membuat keadaan jadi lebih baik. Thea bisa saja masuk angin jika mereka tetap mengobrol disana.

Thea terjengkang sedikit ke belakang, lalu menyengir. "Biasa aja kali," ujar gadis itu seraya terkekeh.

Thea tidak pernah menyangka Liam akan sekhawatir itu pada dirinya. Bahkan ia tidak pernah melihat Liam se-frustasi ini. Buruk bagi Liam, namun Thea senang dengan itu. Walaupun dalam hatinya, ia sendiri jauh lebih khawatir pada dirinya sendiri.

"Te, gue nggak bercanda. Lo sakit. Kita bisa ngobrol besok lagi, sampai keadaan lo baik lagi." Liam beringsut semakin mendekat ke arah Thea. Tangannya mengelus rambut Thea pelan dengan mata yang dalam menatap gadis di sampingnya itu.

Words Under The Stars | One ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang