12

6.7K 317 1
                                    

Aku memutarkan pensil ini berkali-kali. Mencoba mencari jawaban apa yang aku pertanyakan. Kalimat itu...

Kalimat yang dimana membuat aku menjadi seperti ini. Kalimat yang dimana semalam aku tidak bisa tidur nyenyak seperti biasanya. Kalimat yang dimana membuat aku tidak bisa fokus dengan pekerjaan ku sekarang. Apa aku harus memastikan kalimat tersebut?

Tapi, sepertinya keberanian ku tidak seperti itu. Bahkan pikiran ku pun mendukung. Hanya saja hati ini yang memiliki jalan lain.

Apa aku harus memastikannya?

Lebih baik memastikan saja daripada kamu dibuat penasaran oleh nya

Tapi bagaimana di saat kamu ingin memastikannya, dia menjawab bahwa kamu hanya dianggap sebagai teman?

Sepertinya itu tidak mungkin, brain! Kalau dia menganggap kita sebagai teman, mana mungkin dia mengakui hal itu kepada mama dan papa.

Tapi kita tidak tau jalan pikirnya kan? Masa iya dia mengatakan hal itu tanpa pernah melakukan itu. Coba pikirkan kembali.

Uh, pikiran mu terlalu sempit!

Haah, kenapa hati ku dan pikiran ku berdebat? Kenapa mereka membuat ku pusing? Ahh,

Entahlah pilihan ku benar atau tidak tapi menurut naluri ku ini mengatakan aku harus memastikan nya. Yap, sudah ku putuskan! Aku harus memastikan hal ini. Walaupun aku masih tidak yakin dengan ke putusan yang aku buat sekarang.

***

Aku memasuki ruang kantornya. Berjalan perlahan-lahan mencoba meyakinkan apa yang aku lakukan sekarang. Tapi seperti nya itu sudah terlambat.

Dia sudah memeluk ku sangat erat. Bahkan bekal makanan siang yang ia minta hampir terjatuh karena pelukan nya yang mendadak.

"Aku sudah lama menunggu mu" ucapnya yang membuat aku tersenyum secara spontan. Dia mencubit kedua pipi ku dengan gemas.

"Kenapa senyuman kamu selalu manis? Apa ini ditujukan untuk semua orang?" aku menggelengkan kepala dan ku lihat dia tersenyum kepada ku. Menurut ku senyuman nya sangat manis melebihi ku. Hm, mungkin bisa membuat orang yang melihatnya langsung jatuh ke dalam senyuman itu. Termasuk aku.

"Selain mengantarkan ini—" ucapku menggantung sambil menunjukan bekal makan siang untuk nya. "Aku ingin menanyakan sesuatu sama kamu"

Dia memandangkan heran. Keningnya berkerut sambil menaikan salah satu alisnya. Tapi senyuman yang terukir di wajahnya hilang begitu saja mendengar kalimat yang baru saja aku ucapkan.

"Sebenarnya kamu cinta gk sama aku?" pertanyaan bodoh yang baru saja keluar dari mulutku. Di sini aku hanya ingin memastikan. Walaupun dia pernah mengakui perasaan nya pada ku, hanya saja aku ingin memastikan nya kembali.

Dia masih memandangku heran, "aku cinta sama kamu. Mana mungkin aku tidak cinta sama kamu. Apa pengakuan ku waktu itu kurang jelas?" aku menggelengkan kepala.

"Tidak, hanya saja aku ingin memastikan" lagi-lagi dia memandang ku seperti itu.

"Memastikan apa?" tanyanya yang membuat lidah ku bergeming. Maksud ku mulut ku yang bergeming. Apa aku harus menanya kan nya?

"Hm, sebenarnya status di antara kita itu apa?" tanya ku merundukan kepala. Aku tidak tau urat maluku sudah putus atau tidak karena telah mengatakan hal ini, tapi yang jelas kalimat itu entah kenapa langsung terlontar begitu saja.

Dia memegang kedua pipi ku. Dan berusaha menyuruh mata ku untuk menatap manik matanya. Tiba-tiba saja wajahnya mendekat. Ah, aku tau apa yang akan ia lakukan.

Aku memejamkan mata. Ternyata dugaan ku benar. Bibirnya mencium bibirku. Mencoba melumati bibir ku secara lembut. Aku tidak membalasnya. Dan hanya bisa diam bergeming tak tau apa yang harus ku lakukan.

Dia lagi-lagi mencium bibir ku berkali-kali mencoba mengajak ku untuk membalas ciuman nya. Ciuman lembut dari bibir nya membuat aku membalasnya. Ya, aku membalas ciuman dari nya.

Dia melumati bibirku dari setiap sudut bibirku. Begitupun aku. Sentuhan bibirnya membuat aku tidak ingin melepaskan nya. Begitupun dia. Walaupun dengan sendirinya dia melepaskan nya.

"Apa dengan begini, status kamu dengan aku sudah jelas?" tanyanya dan membuat aku menganggukan kepala dengan pelan.

"Sekarang, jangan pernah bertanya seperti itu lagi. Karena ciuman waktu itu dan sekarang sudah memperjelas bahwa status kamu adalah sebagai pacar aku. Apa aku harus memeperjelas lagi?" tanyanya dan dengan reflek aku menggelengkan kepala.

"Tapi sayangnya aku ingin memperjelas status itu agar kamu tidak bertanya seperti itu" ucapnya yang tiba-tiba bibirnya kembali menyentuh bibir ku. Yaa, sepertinya pertanyaan ku sudah mendapatkan jawabannya. Lagipula, tanpa embel-embel penembakan aku sudah senang dia mengakui itu. Walaupun selama ini aku belum mengakuinya. Tapi mendengar penjelasnya, aku sudah tau status apa yang aku jalani dengan nya. Ah, betapa bahagianya aku!

***

"Habisnya kamu aneh! Di taman kamu bersikap seperti itu, seakan-akan kamu sudah tau dan mengabaikan perasaan ku. Tapi waktu di apartemen sikap kamu seakan-akan tidak ingin jauh dari aku. Lalu, seminggu aku hilang dari pandangan kamu. Kamu udah kayak orang yang depresi dan tiba-tiba saja masuk ke ruang kerjaku dan—mencium ku. Lalu, mengajak ku makan malam dan waktu di rumah ku kamu bilang ke mama dan papa ku bahwa kamu itu pacar aku. Sebenarnya sikap kamu itu yang membuat aku seperti ini" ucapku panjang lebar sambil menatap nya dengan perasaan campur aduk.

Dia tersenyum kepada ku. Lalu entah kenapa air mata ini keluar begitu saja tanpa meminta izin kepada ku. Dia memeluk ku dengan erat melihat ku sepertinya—menangis. Padahal aku tidak tau menangis untuk apa?

"Sayang, kamu kenapa nangis?" yaa, semenjak ciuman tadi dia mulai memanggil ku dengan embel-embel 'sayang'. Katanya, dia ingin memanggilku seperti itu karena ingin meyakinkan ku bahwa aku adalah pacarnya. Bahkan, beberapa menit yang lalu dia bilang kepadaku bahwa aku adakah pacar pertamanya sehingga ia tidak tau harus menembak orang yang di cintainya. Makanya dia seperti itu.

Air mata ku masih saja keluar tanpa henti. Entahlah, ini air mata apa. Tapi yang jelas air mata ini adalah air mata yang penuh kasih sayang.

"Coba liat aku. Dan bilang ke aku alasan kamu nangis?" tanyanya yang sudah melepaskan pelukan nya.

Aku masih saja sesenggukan dalam tangisan ku. Entahlah kenapa aku jadi seperti ini. "Aku juga gk tau kenapa aku nangis" ucapku yang masih saja air mata ini turun.

Dia memeluk ku lagi. Dia tau apa yang aku butuhkan sekarang. Pelukan yang hangat membuat ku nyaman bersamanya. "Ya ampun sayang. Aku kira kamu kenapa. Udah dong nangis nya, nanti aku beliin es krim kalau kamu sudah berhenti nangis" aku langsung memukul punggung nya dengan pelan. Uh, enak saja memang nya aku anak kecil.

Aku melepaskan pelukan nya. Air mata ku langsung berhenti mengalir karena ucapan nya. Huh, dia bukan nya menghibur ku malah mengataiku. "Memangnya aku anak kecil?" ucapku kesal.

Dia tersenyum kepada ku. "Memangnya anak kecil itu selalu makan es krim? Bukan kah orang dewasa juga?" tanyanya yang membuat ku berpikir. Benar juga sih. Lagipula selama ini aku juga sering menikmati es krim di setiap restoran atau cafe yang aku kunjungi. Berarti bukan anak kecil juga kan yang memakan es krim?

"Lagipula kamu anak kecil kok. Buktinya kamu dua tahun lebih muda dari aku" lanjutnya yang membuat aku menganggukan kepala tanpa sadar.

Aku tersenyum lebar kepadanya. "Berarti sekarang kamu harus beliin aku es krim" ucapku dan dia memandang ku heran. Tapi tak lama dia menganggukan kepala pertanda bahwa ia menyetujui ucapan ku dan sudah mengerti apa yang ku ucapkan.

Ternyata, bahagia itu datang tepat pada waktunya.

***

Nothing is Impossible [End]Where stories live. Discover now