Satu: Nama Saya Iko

2K 111 35
                                    


Mas Ijon.

Es teh.

Bakpao.

Sumpah, kalau Iko harus memilih salah satu dari tiga hal itu... Ah, mungkin dia nggak akan tidur semalam suntuk. Iko bukannya harus memilih mana yang lebih dia cintai, tapi ini lebih urgent. Darurat. Gawat. Merepotkan. Iko sayang mas Ijon. Iya, lah! Siapa sih yang rela melepaskan mas-mas tetangga yang selalu memberinya tebengan kalau berangkat ke sekolah? Lalu es teh. Iko pernah frustasi karena kehausan stadium lima. Lalu muncullah pahlawannya dalam bentuk cairan cokelat yang penuh dengan bintik-bintik air itu. Namanya peristiwa kapilaritas. Iko nggak pernah peduli bagaimana namanya, tapi satu hal yang harus Iko ingat. Meski es teh telah menyelamatkan hari-harinya, tapi dia bisa sekolah karena bakpao. Bakpao isi cokelat, kacang, ayam dan selai yang Ayah jual selama bertahun-tahun. Bakpao yang sudah berhasil membuatnya lulus SD, SMP, dan membuatnya berhasil masuk SMA seperti saat ini.

Iko harus memilih!

"Pilih, Iko! Kalau mau pilih Ijon, nggak jadi nih Abang anterin!" Abang sudah mengeluarkan keluhan seperti biasa. Iko sudah biasa mendengarkan, kok! Iko harus tahan kuping kalau mau jadi costumer service yang baik nanti. Dia kan harus meneruskan usaha Ayah di bidang per-bakpao-an ini. Bakpao elite versinya yang selalu terima pesanan via online atapun antar jemput begitu.

"Tapi nggak bisa, bang! Iko harus bangunin mas Ijon, masih nunggu dia mandi beserta dandannya!" Iko merepet lagi. Abang sudah pasang wajah malas.

"Lagian, kamu kelamaan Iko! Ngapain juga masih mampir buat beli bubletea atau apa dah itu!"

"Mungkin emang beli es teh tradisional lebih baik kali ya, bang..." Iko menyesal. Kecewa. Kalau saja tadi dia nggak antre membeli es teh versi modern itu, dia nggak akan ketinggalan rombongan teman-temannya. Mereka pasti sudah sampai di bioskop dan sedang menunggunya.

"Bukan itu masalahnya, Unyil!! Abang nanya, kamu mau dianterin siapa! Kalau dianterin Ijon ya sana buruan jemput dia. Kalau kamu nunggu Abang, kamu harus bantuin biar cepet kelar nih!" Tangan Abang masih sibuk mengepak bakpao-bakpao itu dalam kotak. Ayah bilang itu pesanan katanya. Jatah Iko membantu Ayah hanya sekitar hari senin sampai rabu, selebihnya Abang yang membantu Ayah.

"Abang aja, deh! Males banget deh kalau harus jemput mas Ijon. Dia kebo banget kalo udah molor..."

"Oke.. Oke!" Abang menyerah. Dia segera bersiap-siap sebelum Iko pasang wajah betenya lagi. Kalau Iko bete, mulutnya nggak bisa diam. Itu artinya dia akan merepet ke siapa saja. Kapan saja. Kalau sudah merepet, tangannya juga nggak bisa diam. Dia akan menjahili apapun yang ada di depannya. Menusuk-nusuk bakpao dengan lidi misalnya, atau menempel bakpao di tembok dengan membentuk senyuman. Di rumahnya, Iko terkenal. Biang rusuh. Tukang ribut. Cewek menyebalkan. Tangan jahil. Adik macho.

Iko sudah nyaman di boncengan motor Abang. Abang melirik spion. Iko sudah memasang helmnya dan jangan lupa tas ransel aneh itu sudah tersampir rapi di punggungnya. Abang bergidik geli. Adik bungsunya ini agak berbeda dari cewek-cewek lainnya. Seleranya. Tingkahnya. Omongannya.

"Ko, nanti jemput jam berapa?" Abang bertanya kencang di jalan. Iko mendongak, melongokkan kepalanya di bahu Abang. Abang risih dan menggerakkan bahunya nggak nyaman.

"Kalau Iko SMS atau BBM, ntar Abang stand by ya...."

"Mana bisa gitu, Ko! Abang harus anterin bakpao ntar..."

"Iko nebeng temen, deh!"

"Beneran nggak apa?"

"Iya, kan bisa naik bis juga!"

Abang melotot kaget. Nggak terima. Protes. Mana mungkin orang rumah akan mengizinkan Iko naik bis sendirian? Iko itu teledor. Gagap arah. Nggak, nggak! Siapapun nggak akan mengizinkan Iko naik bis sendirian. Dia juga sering tidur di bis. Bahaya, kan?

Stt... Diam, Iko!Where stories live. Discover now