Ayu 4

472 54 6
                                    

Ayu menatap pagar tinggi di hadapannya. Mulutnya ternganga melihat betapa besar rumah yang akan dia kunjungi. Segera saja Ayu membunyikan bel pintu. Tak lama kemudian, seorang perempuan muda cantik keluar untuk menyambut Ayu.

“Anda pasti Miss Ayu, mentor yang akan mengajar Tuan Yoga. Saya benar kan?” tebak perempuan itu.

Ayo mengangguk. “Benar sekali. Ehm, apa Anda ini ibu Yoga?”

Perempuan itu menggeleng. “Bukan. Saya asisten rumah tangga di sini. Mari, saya antar ke pendopo. Tuan Yoga menunggu di sana untuk les privat.”

Ayu mengikuti perempuan itu menuju pendopo yang terletak di samping rumah utama. Halaman rumahnya sangat besar, mungkin seluas lapangan futsal. Ayu jadi penasaran berapa harga rumah semewah ini. Mungkin seumur hidup dia tak mungkin bisa membelinya.

Begitu masuk ke pendopo, Ayu melihat seorang cowok yang duduk membelakinya. Sepertinya cowok itulah yang bernama Yoga, yang harus dia ajari les privat.

“Nah, Tuan Yoga sudah siap. Kalau butuh apa-apa, silakan panggil saja saya.” Perempuan itu undur diri.

Ayu kemudian duduk di samping Yoga dan siap-siap untuk mengajari les. Dia perhatikan buku soal matematika yang terbuka di meja. 

“Hmm, jadi kita mulai sekarang lesnya?” tanya Ayu sambil tersenyum.

“Umur berapa lo?” tanya Yoga tiba-tiba, membuat Ayu kaget. Sikapnya sungguh tak sopan karena memanggil Ayu tanpa embel-embel padahal dia lebih muda.

“Kayaknya lo masih muda. Emang lo bisa jadi tutor gue?” Yoga mencibir dengan gaya meremehkan.

Ayu mendengus. Sialan bener anak ini, bisiknya dalam hati. 

“Tolong yang sopan ya. Aku di sini dibayar orang tua kamu sebagai tutor. Kamu bisa panggil aku Miss Ayu. Oh ya, umurku 22 tahun.”

“Asal lo tahu, gue gak butuh tutor. Soal kayak gini sih gue selesain sendiri juga bisa.” Yoga mengerjakan buku soal matematika di meja, lalu menunjukkannya pada Ayu. “Gue bisa sendiri kan? Mending sekarang lo pergi. Gue gak butuh tutor kayak lo. Kelihatannya juga lo gak lebih pinter dari gue.”

Ayu jadi tersulut emosi gara-gara diremehkan begitu. Apalagi sebenarnya dia punya emosi yang sulit untuk dikendalikan. “Heh, mulut lo tuh bisa dijaga gak? Gue ini lebih tua dari lo!”

“Terus emangnya kenapa? Emang tebakan gue salah?” Yoga mencibir. Tiba-tiba saja dengan sengaja dia menyenggol air mineral yang tersaji di meja hingga mengenai ponsel Ayu. “Ups, sori. Gak kelihatan sih. Hapenya jelek soalnya.”

Ayu sudah tak bisa membendung amarahnya. Dia segera mencengkeram kerah kaos Yoga dan melotot pada cowok itu.

“Macem-macem lo sama gue, hah?!” Ayu mengancam Yoga. Dia sama sekali tak takut meski tenaga Yoga lebih kuat darinya.

“Mending lo pergi deh. Gue gak butuh lo di sini.” Yoga masih bertahan, dia berusaha tidak menyentuh Ayu karena Gadis itu mengenakan hijab. 

“Enak aja pergi. Hape gue rusak tuh gara-gara lo. Harusnya lo ganti dulu.”

Yoga mencibir. “Ogah banget. Tadi kan gak sengaja. Emang lo lihat tadi gue sengaja ngerusak hape lo? Gak kan? Gue cuma gak sengaja nyenggol air mineral dan kena hape lo.”

“Lo tuh ya…!” Gara-gara makin emosi, Ayu langsung menyundul dagu Yoga yang lebih tinggi sedikit darinya. Yoga yang tak menyangka akan kena sundul, langsung limbung dan tubuhnya terantuk tembok. Meski cewek, tenaga Ayu lumayan juga kalau untuk urusan sundul-menyundul apalagi tubuhnya besar.

“Rasain nih!” Ayu yang masih emosi segera mencengkeram rambut Yoga dan menjambaknya keras-keras.

“Aduh, aduh! Ampuuun! Rambut gueee!” Yoga melolong kesakitan. Ayu menjambak rambutnya tampa ampun sampai ada beberapa helai rambut yang tercerabut sampai ke akar-akarnya.

"Rasain! Biar botak lo!” seru Ayu puas.

“Ampun, Kak! Ampun! Tolong jangan sakiti rambut aku!” Mendadak saja Yoga bersikap manis. Sepertinya gara-gara dijambak, cowok itu jadi ingat untuk berkata sopan pada Ayu yang notabene lebih tua darinya.

“Nah, gitu dong dari tadi.” Akhirnya, Ayu melepas jambakannya dari rambut Yoga. Saat itulah, Ayu sadar ada darah yang menetes di pelipis Yoga.

“Ya ampun kok lo berdarah?” Ayu jadi kalang kabut. Dia merasa tak menjambak rambut Yoga sekeras itu, tapi entah kenapa pelipis Yoga sampai berdarah. Apalagi darahnya sampai menetes ke dagu cowok itu.

“Gimana nih? Kayaknya terjadi sesuatu tadi makanya lo sampai berdarah gini.” Ayu jadi ketakutan. Yah, dia tahu tadi dia memang emosi. Tapi, dia tak berharap sampai melukai Yoga. Apalagi muka cowok itu lumayan ganteng, jadi Ayu merasa bersalah karena sudah membuat rambutnya awut-awutan plus kesakitan pula sampai berdarah begitu.

“Ehm, itu tadi kena cincinnya, Kak,” ucap Yoga sambil menunjuk cincin Ayu yang mata cincinnya memang agak menyembul. Cincin perak murah itu menggores wajah Yoga. 

“Oh, bener juga. Aduh, sori ya. Gak sengaja aku. Beneran deh. Tapi kamu juga sih tadi ngeselin banget. Tahu gak sih hapeku itu harganya mahal? Aku harus nabung lama supaya bisa beli.” 

“Emang semahal apa sih?”

“Dua juta.”

“Yaelah. Segitu doang. Hapeku harganya lima belas juta.” Yoga malah pamer hapenya yang logonya dari apel itu.

“Heh, malah sok pamer sama orang miskin. Mau berantem lagi nih?” Ayu melotot sebal.

“Gak, Kak. Sori, sori. Aku kan cuma kasih tau kenyataan. Omong-omong darahnya gak diobatin nih? Ada kotak obat di pojokan situ.” Yoga menunjuk kotak obat di dekat pintu.

“Oh iya, bentar.” Ayu melesat pergi untuk mengambil kotak obat.

Kini, Ayu dan Yoga berhadapan. Ayu membersihkan jejak darah di wajah Yoga menggunakan tisu basah, lalu memberikan plester di pelipis Yoga yang terkena bogem mata cincin Ayu.

Selama merawat Yoga, Yoga memperhatikan Ayu. Merasa diperhatikan, Ayu menatap Yoga. Yoga langsung berpura-pura melihat ke arah lain gara-gara kepergok memperhatikan diam-diam.

“Nah, udah selesai. Sekali lagi sori ya.” Ayu menangkupkan kedua tangannya di depan dada. “Tolong bilang sama orang tua ksmu jangan potong gajiku. Oke?”

“Hmm, gimana ya?” Yoga menimbang-nimbang dengan wajah menggoda. “Dipotong lima puluh persen kayaknya udah pas buat kompensasi telah melukai pelipis murid.”

“Aduh, jangan dong!” Ayu berteriak. “Eh, jangan lupa kamu juga ikut andil. Tingkah kamu tadi rese banget, tahu!”

“Hmm, aku juga minta maaf deh. Sebenernya aku gak mau ikut les. Tapi aku dipaksa sama kakakku.”

“Lho kamu punya kakak?” Mata Ayu membeliak. “Dia ada di rumah?”

“Iya. Tadi yang anter ke sini kan kakakku. Namanya Yuma.”

“Tapi tadi dia bilang kalau dia asisten rumah tangga di sini. Ternyata bukan toh?” Ayu Jadi merasa tak enak hati.

“Kak Yuma emang suka geje gitu. Cita-citanya pengin jadi pembantu, makanya suka cosplay kalau ada orang baru yang ke sini. Emang aneh orangnya.” Yoga geleng-geleng kepala.

Ayu yang mendengarnya cuma bingung sendiri. Kok bisa ada orang yang suka cosplay jadi pembantu? Yah, orang kaya memang aneh bin ajaib. Mungkin saking punya banyak uang, otaknya jadi agak sedeng.

“Eh, terus gimana nih nasib hapeku? Beneran gak bisa dinyalain lho ini.” Ayu meratapi nasib hapenya yang rusak gara-gara kena air.

“Hmm, aku punya ide,” ucap Yoga, yang bikin Ayu langsung tertarik.

Ayu (Si Gemoy kesayangan) RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang