Cerita Keenam: Prolog Hidup di Kota

242 2 2
                                    

KATA orang hidup di kota itu enak. Nikmat, senang, dan bahagia. Dan bangga pula manusia di dunia ini jika disebut atau dianggap orang kota. Dan sungguh gengsi masyarakat kita jika disebut orang desa, orang kampung, orang udik, orang dusun, orang kubu, orang awam, orang terbelakang, apalagi sampai dibilang orang gila.

Orang gila? Sebentar, dewasa ini, sebutan orang gila bukan saja ditujukan kepada mereka yang memiliki gangguan jiwa atau kehilangan akal. Hilang akal, apakah bisa dikatakan seperti hewan yang hanya memiliki insting untuk berkembang dalam kehidupan di dunia ini? Ya, boleh juga.

Lihat saja orang gila tersebut, mereka rupanya tanpa malu keluyuran di jalanan tanpa memakai baju, kadang mengenakan pakaian tapi nyatanya itu sudah taklayak pakai lagi. Badannya bau karena takpernah mandi. Penampilannya dekil, seram, hitam, dan memakan makanan sisa dari bak sampah tidak terurus. Benarlah seperti kambing atau anjing kampung yang kurang gizi. Tapi kedua binatang ini biar bernama binatang dan tidak memiliki akal pikiran seperti layaknya manusia, tetap kalau dipotong dagingnya enak untuk dimakan. Contoh, binatang bau bernama kambing, jika sudah halal untuk disantap. Hmm, ada sop kaki kambing, sate kambing, susu kambing, soto kikil, atau kokolotok kambing. Yah itulah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.

Dan sekarang, Kawan, sebutan untuk orang gila sudah bukan barang yang menghina lagi. Justru sekarang bisa sebagai kata 'pujian' ataupun rasa 'bangga'. Manusia yang kreatif dan memiliki kaya gagasan bisa dikatakan ia 'orang gila', yang memiliki banyak 'ide gila'. Manusia yang nekad, takmemiliki rasa takut dan khawatir, bisa juga dikatakan gila. Atau manusia yang memiliki kepribadian yang di luar orang biasa (umum). Walau secara kesehatan ataupun kejiwaan dikatakan normal atau sehat, namun karena penilaian takbiasa itu ia atau mereka tetap dikatakan gila. Jadi, gila menurutku, sesuatu di luar kata biasa atau biasanya.

Lalu, siapkah aku, kamu atau yang lainnya yang memiliki akte kelahiran dan kartu tanda penduduk warna negara Indonesia (WNI) untuk menjadi orang yang takbiasa?! Karena aku sudah mulai bosan dengan hidup yang biasa. Bahkan takada perubahan positif sama sekali dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air ini, meski kita sudah bergonta-ganti presiden, ganti menteri, ganti kepala dinas, ganti wakil rakyat, atau ganti slogan. Sudah layakkah disebut orang kota?

Oleh sebab itu, tidak salahnya jika kita sekarang menjadi orang gila yang mencoba melakukan perubahan realistis dan positif kepada bangsa ini. Kota ini. Sudah saatnya kita yang muda, yang tahu, dan yang merasakan jerih langsung penderitaan dan susahnya menjadi rakyat Indonesia.

Sementara para (katanya) pemimpin kita, amanat dan janji mereka lebih sibuk saling dan sering bercerai-berai, jatuh-menjatuhkan, sikut-menyikut, buntutnya bertuntut-menuntut hanya untuk menunjukkan kepada kita bahwa mereka ada. Sebab kesempatan itulah kita tunjukkan kepada masyarakat luas, mulai dari mereka yang berada di desa, di pedalaman negeri, hingga kepada mereka yang berada individualis di dalam gedung kantoran pencakar langit. Kita buktikan saja kepada mereka bahwa anak muda seperti kita ini benar-benar ada.

Kita berkata lewat amal baik kepada kebutuhan dasar bangsa ini, dan bukan berkata peduli ketika ada maunya. Sebenarnya bangsa ini butuh bukti. Bukti yang nyata, bukan janji apalagi mengklaim diri mereka lebih baik dari yang lain. Itu bukanlah wakil kami. Aku, teman-teman di desa yang mereka wakilkan, juga bapak-ibuku, tidak mengenal mereka. Mereka hanya sok kenal. Lebih bagusnya, kita semua ini kembali lagi ke jaman di SD. Memakai seragam merah putih, setiap hari Senin menghormati bendera Merah Putih yang berkibar gagah sekali, menghapal Pancasila dan butir-butirnya serta bangga setiap kali mendengar satu kata 'INDONESIA'.

Sungguh miris kini hidup di jaman ini. Bahkan untuk mencontreng nama partai dan calon legislatif ataupun calon presiden saja, bingungnya minta ampun. Kapanlah orang-orang pintar di negeri ini mengajari kita hidup berdampingan, saling memberi petunjuk, menggembirakan, dan mengingatkan. Menguatkan hati kita sebagai anak bangsa berhakikat dan tujuan hidup dalam menyukseskan program Pembangunan Nasional. Lebih tepatnya memertahankan dan mengisi kemerdekaan. Kemerdekaan yang menewaskan dan membanjir-darahkan jutaan leluhur Indonesia. Mereka yang rela mati demi bangsa ini merdeka.

Cinta Dalam Tumpukan Jerami (KUMCER TERBAIK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang