2. Pertarungan dua kubu

69.3K 3.2K 67
                                    


Macet lagi.

Kehidupan Tsabit bahkan para pekerja keras seperti dirinya, terasa hampa jika tidak dibumbui kemacetan yang mengisi perjalanannya dalam mencapai kesuksesan. Terkadang itulah hidup. Kita harus mengorbankan air mata untuk mendapatkan hidup yang lebih baik.

Macet kali ini nampak parah. Sudah ada satu jam mobil yang dikendarai Tsabit berada ditengah barisan kendaraan yang sama. Tidak ada pergerakan sama sekali. Kalaupun ada, itu terjadi setiap lima belas menit sekali, itu pun hanya sekitar 2 meter. Tsabit berdecak gusar dalam kemudi. Untungnya perusahaan memberi kompensasi pulang lebih cepat. Dan niatnya hari ini, sepulang bekerja ia hendak mengunjungi Idzar untuk membicarakan laporan  perusahaan yang bermasalah tempo hari.

Ketika kendaraan perlahan maju, mulai nampak penyebab dari kemacetan ini. Sekumpulan mahasiswa nampak berkumpul memenuhi jalan melakukan orasi. Jumlahnya sangat banyak. Mungkin ada ratusan. Ada yang berteriak teriak. Ada yang sibuk membawa spanduk panjang. Spanduk tersebut di pegang oleh sekitar 3 orang. Ada yang hanya ikut berjalan saja. Ada juga yang melakukan aksi teater di jalan.

Tumbuh rasa penasaran, Tsabit berinisiatif bertanya kepada penjual es cendol yang menepi di pinggir jalan. Kebetulan mobilnya berada di sebelah kanan tak jauh dari lokasi para pedagang yang mangkal.

"Ini demo apa, pak?" Tanya Tsabit kepada bapak tua penjual es cendol. Kepalanya dilongokan ke luar jendela mobil.

"Menuntut keadilan, neng. Protes tentang hukuman mati itu" jawab si bapak penjual cendol sekenanya. Tsabit menelaah dalam diam. Dilihatnya lagi kondisi demo di sana.

"Kasus bali nine itu ya pak?" Tanya Tsabit lagi. Bapak penjual itu menaikan bahu sambil berujar, "iya kayaknya. Saya mah engga paham sama begituan, neng" bapak itu cengengesan.

Ditengah rasa penasaran yang luar biasa, ada seorang mahasiswa yang sedang asyik menikmati es cendol si bapak itu. Ia sempat melihat interaksi Tsabit dengan si bapak.

"Menolak rencana pemerintah, mbak. Perihal eksekusi terpidana warga negara asing yang terlibat kejahatan Narkoba. Khususnya kasus bali nine itu" pria itu menjelaskan sambil menyuap sesendok es cendol dengan nikmat. Tsabit menoleh ke arah sumber suara.

"Lalu apa yang teman teman kamu inginkan?"

"Keadilan mbak. Itu melanggar Hak Asasi Manusia. Hukuman itu tidak manusiawi. Kami menuntut hukuman yang benar benar adil. Bukan hukuman mati. Mereka para warga asing di sana memiliki hak untuk hidup" mahasiswa bertubuh tegap itu baru saja meletakan gelas kosong di kursi kayu panjang. Ia menaikan kaki ke atas kaki satunya.

"Termasuk mas, menolak keputusan tersebut?"

"Iya lah. Hukuman mati adalah bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangam dengan hak asasi manusia, mbak. Atas dasar inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah ada 97 negara menghapuskam hukuman mati" mahasiswa begitu tegas dan kritis dalam menjelaskan. Sepertinya ia tidak peduli mau Tsabit mengerti ucapannya atau tidak. Yang Tsabit heran, kenapa ia tidak bergabung dengan teman lainnya sesama mahasiswa yang turun ke jalan sana?

"Meskipun si pidana melakukan kejahatan paling berbahaya sekalipun?"

"Tentu, mbak. Buat apa ada rehabilitasi kalau bukan untuk menanggulangi pengguna Narkoba" jawab mahasiswa itu enteng. Tsabit menghela nafas pendek sambil menatap remeh.

"Dangkal banget pikiran kamu. Justru diadakannya hukuman mati karena Rehabilitasi bahkan kurungan penjara sekalipun tidak memberi efek jera kepada pelaku. Bahkan kalau kamu tahu, peredaran narkoba itu sendiri sudah berjalan dengan lancar secara sembunyi sembunyi di salah satu rumah tahanan. Itu pasti ada oknum oknum nakal yang turut berpatisipasi dalam kejahatan tersebut. Itu artinya Narkoba sudah berada pada titik yang harus ditanggulangi dengan tegas. Kurungan penjara atau denda aja gak cukup, mas" timpal Tsabit tak kalah kritis. Mahasiswa ber-almamater kuning itu diam. Menyimak penjelasan Tsabit dengan seksama. Ia menunggu gadis itu menyampaikan lagi pembelaannya terhadap rencana pemerintah perihal eksekusi mati tersebut.

Tsabita IlanaWhere stories live. Discover now