Ribut

650 3 0
                                    

Aku kesal bukan main. Aku sama sekali tidak mau melihat kearahnya apalagi mendengar ocehannya itu. Padahal jelas akar masalah ada pada keegoisannya, tapi ia terus membolak-balikkan fakta dan memojokkan semua hal padaku.

Masalah kali ini adalah pemilihan rute terbaik menuju restoran yang akan kami kunjungi. Aku ngotot memintanya lewat jalan tol, sementara ia ngotot untuk lewat jalan biasa. Alhasil, kami ribut hingga tidak sempat masuk tol.

Saat ini ia sibuk mengguruiku. Rasanya aku lelah terus disudutkan seperti ini. Ia egois, aku juga kadang egois. Tapi selalu saja emosi menguasai keadaan.

Tak berapa lama ia berhenti bicara. Mungkin sadar kalau aku tak lagi tertarik dalam argumentasi ini. Mataku terus menatap keluar kaca mobil. Tidak sekalipun aku melirik kearahnya. Biarkan saja ia marah, ia kira aku tak bisa marah juga?

Aku semakin geram ketika sadar jalanan mulai menunjukkan kemacetan. Lihat kan? Ini hasil dari keegoisannya untuk lewat jalan biasa!

Aku menggerutu pelan, "Turunin aku!" Nadaku ketus. Aku yakin ia pasti dengar.

"Apa?" Sahutnya dengan nada kesal. Mungkin campuran rasa kesal padaku dan kesal pada jalanan.

Aku masih tidak mau melihat wajahnya, "Turunin aku!" Sahutku lebih keras dan tegas.

Bisa kudengar ia berdecak, "Apaan sih? Kamu ngambek?"

Aku tak tahan lagi. "Pokoknya turunin! Gw mau pulang aja naik taksi!"

Rasanya aku tak mau menunggu lagi. Buru-buru ku buka pintu mobil yang sayangnya terkunci. Ia melarangku untuk turun dari mobil.

Kekesalan memenuhi ubun-ubunku. "Buka pintunya! Gw mau pulang!" Aku mulai berteriak histeris tanpa melihat kearahnya.

"Nggak!" Sergahnya cepat dengan nada yang ditinggikan.

"GW MAU PULANG!!" Akhirnya aku berbalik, melihat wajahnya yang sudah dipenuhi urat marah. Aku tak mau kalah. Ini sudah batas kesabaranku.

Matanya menatapku tajam. Tanpa aba-aba, ia langsung berbalik arah. Ia memutar mobilnya dan membuat keriuhan di tengah macet. Setelah berhasil berbalik arah, ia langsung menginjak gas.

Aku semakin ingin marah padanya. Terlihat di wajahnya kalau ia sangat marah pada sikapku ini. Tapi aku tak peduli. Kalau ia memang benci padaku, kenapa tak sekalian saja ia membunuhku? Kenapa kami masih berpacaran kalau yang bisa kami lakukan hanya bertengkar seperti ini?

Rasa kesal bercampur aduk dengan perasaan lainnya. Pandangan mataku perlahan kabur oleh air mata. Aku tak lagi melihat kemana ia membawaku. Ia juga tak juga angkat bicara. Aku merasakan kekesalan memenuhi tubuhnya sama seperti kekesalan yang menguasai diriku. Suasana mobil sangat mencekam. Hanya terdengar suara isakanku pelan dan bunyi mesin mobil.

Aku tidak tahan. Kami sudah sering bertengkar bahkan sejak sebelum pacaran. Yang membuat kami bersama juga pertengkaran. Kalau dipikir-pikir tidak ada yang menyatakan suka. Aku awalnya ragu untuk menyebut hubungan ini sebagai pacaran. Tapi kedekatan kami jelas berarti begitu.

Sekitar 3 bulan yang lalu kami pergi ke pernikahan senior bersama. Kami berdua menghabiskan waktu ngobrol di pinggir ruangan, sambil tetap bercanda dan bertengkar kecil. Lalu hal itu terjadi secara tiba-tiba. Entah siapa yang menginisiasi, yang pasti tangan kami tiba-tiba bertautan. Kami hanya saling memandang dan saat itu juga kami sadar kalau kami saling membutuhkan.

Malam itu, tangan kami tak lepas sedikit pun. Seperti ada lem yang merekatkan kedua tangan kami. Ketika berpisah juga begitu, kami sama-sama enggan. Tanpa ada kata 'suka' kami pun mulai bersama. Tanpa kata 'suka' kami mulai berpacaran. Karna tanpa kata-kata, kami tahu kalau perasaan kami sama.

RIBUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang