Satu

45.7K 2K 31
                                    

Aku memandang gelas kopi yang sudah tidak panas di mejaku. Sudah sejak dua jam yang lalu aku memesannya namun sama sekali tidak berminat untuk mencicipi. Aku memesannya hanya agar dapat duduk di cafe ini. Aku butuh menenangkan pikiranku dan cafe ini satu-satunya yang terlintas di otakku, karena aku tidak bisa pulang ke rumah.

Pikiranku kacau. Aku merasa sama sekali tidak berguna. Di usiaku yang baru saja genap 30 tahun ini seharusnya aku bersyukur karena aku sudah memiliki kehidupan yang banyak perempuan idam-idamkan. Aku sudah meraih gelar S2, memiliki pekerjaan dengan gaji yang lumayan hingga tak perlu pikir panjang untuk melakukan perawatan seluruh tubuh di salon ataupun berbelanja pakaian dan sepatu dengan merk terkenal, dan telah menikah dengan laki-laki tampan dan mapan yang mencintaiku dan sangat aku cintai.

Hidupku memang sempurna... Sebelum dia dengan brengseknya berkata di depan kedua orang tuanya bahwa dia menyesal telah menikahiku...

***

Dengan langkah gontai dan malas-malasan aku membuka kunci pintu apartemenku. Mau tidak mau aku harus pulang ke sini, mau kemana lagi memangnya?

Setengah hatiku berharap jika Alex akan menyambutku dengan pelukan hangatnya dan berkata bahwa tadi hanyalah bagian dari surprise atau apapun itu, namun setengah hatiku juga berharap untuk tidak bertemu dengan dia setelah kelakuan brengseknya tadi di rumah mertuaku.

Sumpah, aku tidak mengerti lagi otak suamiku itu ditaruh dimana. Belakangan ini memang wajahnya terlihat murung dan kusut yang ku asumsikan karena pekerjaannya di kantor. Well, kami bekerja di kantor yang sama, sebuah law firm yang lumayan terkenal di Jakarta, jadi tentu saja aku tahu bagaimana pekerjaannya walaupun kami beda divisi.

Seharusnya ia merasa senang, karena setelah kurang lebih dua tahun usia pernikahan kami, akhirnya aku hamil.

Awalnya aku sempat ketar-ketir karena tak kunjung hamil, tapi juga terlalu takut untuk memeriksakannya ke dokter. Toh orang tuaku dan mertuaku juga masih santai-santai saja.

Tapi justru di saat kabar bahagia itu datang, respon Alex tidak seperti yang kubayangkan dalam anganku. Tidak ada ekspresi gembira atau pun haru, dia hanya memelukku sebentar lalu mengajakku ke rumah orangtuanya.

Dan seperti yang kalian tahu, setelah dia mengabarkan kehamilanku kepada orangtuanya, dia juga berkata menyesal telah menikah denganku...

Bukan aku saja yang kaget saat itu, orangtuanya juga. Bahkan aku sempat melihat kilatan amarah di mata papa mertuaku, namun ia akhirnya hanya berkata agar kami pulang dan menyelesaikan apapun masalah rumah tangga kami.

Bagaimana mau menyelesaikan kalau aku sendiri saja tidak tahu masalahnya apa?!

Dan sekali lagi, dengan brengseknya dia meninggalkan aku begitu saja di rumah orangtuanya. Untungnya dia tahu diri dengan tidak membawa mobil dan membiarkanku pulang naik taksi. Ha-ha... Masih bisa saja aku melihat sisi positifnya.

Aku tidak langsung menemukannya di ruang tengah apartemen, apartemen ini sepi sekali hingga membuat hatiku tambah pilu. Di kamar juga tidak ada.

Ternyata Alex lebih memilih untuk tidur di kamar tamu, yah untung dia masih mau tinggal di sini daripada kabur meninggalkanku. Damn! Untung lagi??

Aku membiarkannya tertidur, bukannya aku tidak peduli, tapi saat ini aku juga lelah, mengajaknya berbicara sekarang sama sekali bukan hal yang baik. Aku sangat tahu sifat suamiku, dia lebih baik diam saat menghadapi masalah. Jika dia rasa sudah dapat menguasai emosinya dan berkepala dingin, baru dia mau berbicara.

***

Pagi ini aku terbangun dengan rasa mual yang hebat, mungkin ini yang dinamakan morning sickness. Aku memanggil-manggil Alex, namun tidak ada jawaban. Keterlaluan sekali sih! Aku tahu dia tidak dalam suasana hati yang baik, tapi aku kan sedang hamil!

#1 My Perfect LifeWhere stories live. Discover now