Part 19

97.8K 3.6K 49
                                    

"Meski saat ini Ryan sudah ditahan, aku ingin kau tetap berhati-hati. Ryan bukan orang yang lemah, anak buahnya ada di mana-mana dan sangat berbahaya. Langsung hubungi aku kalau ada apa-apa, mengerti?"

"Aku mengerti, Alex. Meski kau sudah bosan mendengarnya aku tetap akan mengatakan terima kasih, karena kau sudah sangat baik padaku."

"Tidak masalah. Bila kau butuh aku untuk menjelaskan kesalapahaman dengan Nicholas, jangan ragu untuk meneleponku. Aku siap membantu."

Aku mengangguk. "Baiklah, aku pergi." Gumamku sambil mulai berjalan karena pesawatku akan segera take off.

Saat aku sudah beberapa meter jaraknya dari Alex, kudengar dia berteriak. "Jangan lupa mengundangku di pernikahanmu, ya."

Aku tidak menoleh padanya, hanya melambaikan tanganku ke atas sebagai pertanda aku mendengarnya. Saat acara pernikahanku mana mungkin aku tidak mengundangnya, dia sudah kuanggap sebagai kakaku dan sepertinya aku sudah mulai menyayanginya sebagai kakak.

Selama di dalam pesawat, pikiran dan hatiku selalu tertuju pada Nicholas. Pada senyuman dan tawanya, pada wajahnya yang kesal dan cemberut, pada godaan dan senyum nakalnya. Semuanya. Semua yang ada padanya sangat kurindukan. Meski saat ini dia seakan menjauh dariku tapi aku berharap saat aku bertemu dengannya nanti, senyum kebahagiaanlah yang terlukis di bibir sexi-nya, bibir yang sudah sangat kurindukan mencium bibirku dengan lembut.

"Nicholas, aku datang. Tunggu aku," bisikku pelan pada diri sendiri.

***

Hampir 4 jam perjalanan dari bandara menuju rumah Melisa, dan aku rasanya sudah mau pingsan. Jalannya berbatu-batu dan tidak rata, untung kali ini aku naik taxi yang nyaman dan ber- AC dan bukannya naik mobil bobrok Jefry yang kutumpangi saat pertama kali aku datang ke sini.

Sebenarnya aku sudah sangat ingin langsung bertemu dengan Nicholas, tapi aku takut dengan kemungkinan Nicholas masih marah padaku. Jadi aku memutuskan untuk menguatkan hatiku dulu, apa lagi lusa adalah hari ulang tahunnya, aku ingin menemuinya saat itu dan memberinya kejutan. Aku tersenyum membayangkan reaksi Nicholas saat melihatku nanti.

Setelah memberi ongkos pada supir taxi, aku melangkah ke pintu rumah. Sama seperti saat aku pergi ke jakarta yang tidak membawa apa pun selain diriku sendiri, kali ini pun hanya tas selempang yang kubawa.

Aku sudah akan mengetuk saat pintu tiba-tiba terbuka dan muka Melisa keluar dari dalam. Setelah melihat aku yang datang, tiba-tiba dia langsung memelukku sambil menangis.

"Aku ikut berduka untukmu, Tania. Maafkan aku tidak bisa ada untukmu di saat-saat sedihmu." Dia bergumam sambil terisak di pelukanku.

Aku juga membalas pelukannya, satu lagi orang yang peduli padaku. Kuharap Nicholas pun akan menjadi penghiburku, sama seperti yang Melisa dan Alex lakukan.

"Sekarang aku sudah tidak apa-apa. Tapi...dari mana kau tahu ayahku meninggal?"

Melisa melepaskan pelukannya kemudian dia menatap ke arahku sambil menghapus air matanya. "Kau lupa kalau bang Jefry adalah mandor ayahmu? kami baru mendengarnya pagi ini dari pak Alex, katanya mulai sekarang dia yang akan mengurus semua aset ayahmu sampai keadaanmu pulih."

"Kalau kau tidak capek, bisa kita berbicara? Ada sesuatu yang ingin kukatakan." Tiba-tiba Jefry sudah ada di belakang Melisa. "Melisa sebaiknya kau buatkan teh untuk Tania, dia terlihat lelah." Katanya dengan nada yang tidak dapat kuartikan.

Melisa tahu kalau dia sedang diusir hingga dia pergi kedapur tanpa membantah sedikitpun, sesekali dia masih menghapusi air matanya.

"Apa yang ingin kau katakan padaku?" tanyaku saat kami sudah duduk disofa ruang tamu, Jefry duduk di depanku dengan wajah yang sangat serius. Belum pernah aku melihatnya seserius ini, hingga membuatku takut dengan apa pun yang ingin di katakannya. Sudah terlalu banyak masalahku saat ini, aku tidak ingin dia menambahnya lagi.

Tania & Nicholas (Playstore)Where stories live. Discover now