3

321 13 0
                                    

CLARA

Gadis itu keluar dari kantornya tepat pukul lima sore dan disambut deretan panjang kendaraan di jalan. Telunjuknya mengetuk roda kemudi dengan tak sabar, barisan gigi serinya menggigit bibir bawahnya yang tak luput dari polesan lipstik. Brengsek!, batinnya mengumpati semua kendaraan yang tak kunjung bergerak dari tempatnya. Sampai kapan dia harus selalu terjebak macet begini tiap hari?

Berusaha untuk berdamai dengan situasi, Clara mengingat sejak kapan dia mulai berjibaku dengan kemacetan kota metropolis ini. Sejak dia punya mobil? Atau sejak dia pindah ke apartemennya di Mayjend Sungkono? Yang pasti sebelum kedua hal itu terjadi ia tak perlu melatih kesabaran secara rutin seperti ini.

Satu bunyi memecah konsentrasinya, pesan bbm dari orang yang, jika boleh ia jujur, dibencinya setengah mati. Bukan, setengah mati saja tidak cukup. Dia bisa membawa kebencian itu hingga liang kuburnya kalau mau. Tapi apa boleh buat, Clara mengakui bila dia membutuhkannya. Teramat sangat. Berkat dia hidupnya jadi begini, seperti sekarang. Borjuis dan tak pernah kesulitan apapun. Seakan semua kesulitan itu enggan mendekat secara otomatis padanya.

Hingga dua jam kemudian barulah ia tiba di depan pintu kamarnya, jemarinya ragu untuk membuka. Pikirannya melayang sesaat, mengingat awal mula segala yang dia jalani selama hampir lima tahun terakhir. Salahkah?

Entahlah.

Hanya Tuhan yang berhak menilainya. Menilai apakah yang dilakukannya lima tahun belakangan pantas atau tidak.

*

Separuh batinnya berontak, separuh lagi meyakinkan dirinya bahwa dia harus profesional. Dia bukan amatiran yang lari ditengah jalan bila tak suka dengan sesuatu. Perseteruan batinnya bahkan lebih seru disimak daripada sinetron.

Satu suara berkata hentikan.

Satu suara berkata untuk terus maju dan pantang untuk berbalik pulang sebelum semua selesai. Atas nama profesionalisme.

"Sayang, kok disitu aja? Sini. Duduk sebelahku sini."

Kepalanya berputar pada sumber suara dibelakangnya. Atas nama profesionalisme.

"Ah, maaf ya. Sampai mana kita tadi?"

Kakinya melangkah mendekat, batinnya menjerit namun Clara acuh. Dia sudah terbiasa. Dia harus terbiasa.

Benar. Atas nama profesionalisme.

***


Re: Start!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang