Hanya terdengar suara riuh sorak sorai ribuan penonton yang memintaku membawakan satu lagu lagi ketika aku memberikan salam penutup di konser malam ini. Penampilanku di Chicago kali ini menjadi tour penutup di Amerika, yang selanjutnya akan berlangsung di Eropa lalu Asia dalam beberapa bulan ke depan. Drew, salah seorang kru tour duniaku, menyerahkan sebotol air minum dan handuk kecil padaku setelah kembali ke belakang panggung. Mereka memberiku selamat atas kesuksesan pertunjukkanku malam ini.
"Sampai jumpa tiga minggu lagi di Jerman! Selamat berlibur semuanya!" seru Phil, melambaikan tangannya kepada para kru sebelum berlalu ke ruangannya. Dia adalah manajer tour-ku yang mengatur segala jadwal dan kebutuhanku selama tour berlangsung, termasuk salah satu orang yang paling aku hormati karena jasanya yang telah melambungkan namaku melalui pertunjukkan-pertunjukkan hebat yang dia siapkan sepanjang musim ini.
Berjalan menuju ruang ganti, aku berpapasan dengan Emma yang membawa beberapa setel baju untukku di tangannya. "Marc sudah menunggumu. Penerbangan kalian dua jam lagi. Bergegaslah." Katanya, menyerahkan pakaianku dengan terburu-buru dan membantuku melepas earphone yang kugunakan. Lantas setelahnya aku berlari kecil menuju ke ruang ganti, mendapati Marc tengah duduk di sofa sambil menatap sesuatu di ponselnya.
"Pertunjukkanmu malam ini menjadi trending topic lagi."
"Benarkah?" tanyaku, menanggalkan pakaianku satu persatu di hadapannya. Kendati kami belum mencapai tahap dimana aku mau tidur bersamanya, aku merasa tidak keberatan untuk berganti pakaian atau hanya sekedar mengenakan pakaian dalam di depannya.
Marc mendongakkan wajahnya padaku sebelum menurunkan ponselnya dari hadapannya. Ekspresinya yang datar langsung berubah dan matanya berbinar di antara remang-remang lampu meja riasku. "Y-ya. Penampilanmu hari ini menakjubkan seperti biasanya, aku yakin penggemarmu juga sangat menikmatinya."
Aku tersenyum tersipu malu. "Terima kasih. Well, ngomong-ngomong kau tidak berlatih banyak untuk balapan minggu ini. Apa itu tidak masalah?"
Dia menggidikkan bahunya, membawa kedua tangannya ke belakang kepalanya saat matanya tertuju pada bokongku. Dia menjilat sedikit ujung bibirnya. "Tidak masalah. Aku menyukai bentuknya, aku cukup percaya diri untuk menunggang di sana."
"Maaf?" Keningku mengkerut, menyadari kata-katanya yang terdengar sedikit ambigu bagiku.
Marc mengedipkan matanya beberapa kali, terlihat berusaha mengendalikan diri. "Ma-maksudku, aku menyukai bentuk sirkuitnya. Sirkuit di Assen adalah salah satu favoritku..." dia mengoreksi, tapi kemudian aku mendengarnya melanjutkan, "...sama seperti bokongmu..."
Aku tergelak seraya menggeleng dan mengenakan legging-ku. Ada-ada saja. "Berhentilah menatap bokongku dan kita pergi ke bandara sekarang juga."
"Hey, siapa sebenarnya yang akan balapan minggu ini? Kau atau aku?"
"Kau. Itu sebabnya aku akan terus mengingatkanmu."
"Kau tidak perlu melakukannya."
"Kalau begitu berhentilah bersantai. Aku tidak mau kita ketinggalan penerbangan."
"Wow. Bersemangat sekali." Nada suaranya antusias seperti mengejek.
"Marc, kau tahu aku sudah sejak lama menunggu hari ini tiba, melihatmu di sirkuit adalah salah satu hal yang paling aku sukai dan bisa mendukungmu secara langsung adalah hal yang jarang bisa aku lakukan untukmu semenjak aku disibukkan oleh tour dunia."
"Oh, sungguh?"
"Sungguh. Ingat aku ini bukan hanya kekasihmu tapi juga penggemarmu. Tidak melihatmu balapan sekali saja rasanya seperti ada yang hilang."

ESTÁS LEYENDO
FAME (Marc Marquez Fanfiction)
FanficSiapa bilang berpacaran dengan seorang artis terkenal itu mudah? Siapa bilang berpacaran dengan pembalap papan atas itu menyenangkan? Semua itu hanya bualan. Ini jelas tidak semanis yang dibayangkan! © 2016 by Rashifa Killa