Part 3

319K 8.5K 109
                                    


Vanessa pov

07:30 pagi.

Aku sudah rapi, cantik dan tentunya sexy. Kalau yang satu itu pake banget malah.

Berdiri di depan cermin berbingkai ukiran-ukiran burung mungil hadiah dari fans saat ulang tahunku yang ke 18, aku melirik penampilanku yang udah oke abis. Kepedean dikit boleh lah yah, lagian aku memang cantik kok.

Gaun merah bella berbahan sutera yang panjangnya sedikit di atas lutut, membalut manis tubuhku yang tinggi semampai. Roknya mengembang lembut, memperlihatkan Kakiku yang panjang dan putih mulus. Aku memadukannya dengan flat shoes berwarna senada, tali-talinya melingkari dari pergelangan kakiku hingga setengah betis. Aku memakai make up tipis dan seadanya, tidak ingin membuat kesan berlebihan saat bertemu calon suamiku.

Yeah, Andrew Millard, calon suamiku. Aku akan menemuinya.

Sekarang sudah satu minggu sejak pesta ulang tahunku, dan dia belum sekali pun menampakkan wajahnya atau pun menghubungiku atau pun mengirimiku pesan.

Ethan meneleponku dan meminta maaf, dia memberikan penjelasan kenapa dia bisa sampai keluar batas. Dia mengakui kalau dia sudah menyukaiku sejak lama, tapi dia juga mengatakan kalau apa yang terjadi di malam pesta ulang tahunku sepenuhnya karena dia mabuk. Setelah sadar keesokan harinya, dia menyesal dan aku sebagai teman yang baik harus mau memaafkannya.

Sesaat setelah aku berbicara dengan Ethan, aku menghubungi Andrew, tapi tidak diangkat. Aku mengirim pesan tapi tidak dibalas, aku tidak tahu apa sebenarnya maunya laki-laki itu. Padahal aku sudah merendahkan diriku dengan meminta nomor ponselnya pada papi, aku rela menjadi orang pertama yang menelepon, tapi dia seakan cuek dengan itu semua.

Jelaslah aku kesal. Dia terkesan cuek sedangkan aku sudah dihantui wajahnya---yang dengan terpaksa harus kuakui sangatlah tampan dan sialan menggiurkan, siang dan malam. Dan bukan hanya sekali dia hadir dalam mimpiku, mimpi indah sekaligus buruk secara bersamaan.

Aku mendengar dia tetap berkomunikasi dengan papi, membicarakan tentang pernikahan kami di belakangku. Sesekali datang mengunjungi butik-nya mami, dia juga mengobrol panjang lebar di sela-sela waktu senggangnya. Tak lupa juga dengan kakak-kakakku yang lain, dia sudah semakin akrab dengan mereka. Pokoknya hanya aku yang tidak di temuinya.

Bukankah dia pria yang menyebalkan? Di sini aku adalah calon istrinya, tapi malah aku yang dia abaikan.

Oleh karena itu, pagi ini aku memutuskan untuk menemuinya
Dan menanyakan padanya kenapa dia mengabaikanku. Aku mengambil tas selempangku kemudian berjalan ke luar kamar.

***

Pagi, Pi. Pagi Mi, pagi semua," aku mencium pipi papi dan Mami, memberikan senyum secerah mentari yang kumiliki.

Kak Melda, kakak ketiga-ku dan bang Burhan abang iparku tersenyum sebagai balasan salamku.

"Pagi,"

"Pagi, Sayang. Tumben pagi-pagi udah rapi?" Mami melirikku yang sudah duduk di kursi bersama dengan mereka untuk sarapan. "Mau kemana?"

"Iya, tumben banget, Nes. Biasanya kan jam segini kamu masih molor, apa lagi hari ini hari minggu." Kakakku menimpali, matanya menatap curiga padaku.

"Apaan sih? bangun lama di bilang malas. Bangun cepat di curigai, hadeh...serba salah." Aku meletakkan tas selempangku di atas meja. "Aku mau keluar."

"Kemana?" Mami dan kak Melda rempong, hanya para pria yang diam tampak tidak terlalu peduli. Makanan Papi sudah habis, dia sedang membaca koran yang terlihat seperti koran bisnis, sama halnya dengan bang Burhan.

Bitter Sweet Life With You (Playstore)Where stories live. Discover now