~benteng hati~

22.6K 1.1K 32
                                    

Ivan terjaga oleh alarm di gadgetnya yang menjerit kencang, menyeret kesadarannya dari tidurnya yang gelisah. Ivan bangkit duduk dan menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan rasa pening yang menyerang syaraf-syaraf otaknya. Perlahan ia mengedarkan pandangannya di seputar kamar dan dalam sekali pandang ia tahu, semalam Amira tidak tidur di tempat yang seharusnya yaitu di sebelahnya.

Sisi tempat tidur tempat biasa Amira berada, masih licin, tak ada bekas ditiduri. Bahkan aroma lembut khas Amira yang biasa begitu kental di udara, hanya tertinggal samar. Seakan Amira hanya pernah menjejakkan kaki di kamar itu tak lebih dari sepersekian helaan nafas.

Tiba-tiba, pandangan mata Ivan terpaku pada meja nakas di sebelah meja rias Amira. Tas kerjanya telah siap, yang Ivan tahu isi di dalamnya juga telah rapi, khas Amira yang begitu memudahkan Ivan menemukan segala macam keperluannya.

Ivan menghembuskan nafas. Tanpa bisa dicegah, rasa sesak menghimpit dadanya. Setelah apa yang dilakukannya semalam dan aksi tidur terpisah Amira, istrinya itu masih saja setia melaksanakan segala kewajibannya. Ivan mengusap wajahnya dan menghembuskan nafas, berusaha menghilangkan rasa nyeri yang menyerang perasaannya. Ia pun beranjak untuk membersihkan diri.

Namun, lagi-lagi Ivan tertegun.

Di dressing room, ruang yang memisahkan kamar tidur dan kamar mandi, baju kerja Ivan untuk hari ini pun telah siap. Tergantung rapi, lengkap dengan ikat pinggang, dasi juga kaos kaki dan sepatu yang serasi.

Rasa pilu makin hebat menggerogoti hati Ivan. Mengingatkannya betapa buruk kelakuannya beberapa waktu terakhir ini. Untuk sesaat, rasanya Ivan ingin berteriak sekencang-kencangnya, demi melepaskan perasaan tertekan yang menggelayuti jiwa dan pikirannya.

Lamat-lamat dering suara gadgetnya, yang masuk ke pendengarannya, menyadarkan lamunan Ivan, membuatnya tergopoh-gopoh kembali ke kamar.

’Verina!’ desis hatinya. Seketika wajahnya yang keruh menjadi sumringah. Ingatan akan pengkhianatan yang dilakukannya seakan menguap begitu saja tanpa bekas.

”Hi honey,” bisik Ivan mesra dengan senyum mengembang lebar di wajah tampannya.

Dan untuk selanjutnya, Ivan terbuai dalam percakapan intim bersama Verina di ujung saluran teleponnya, tanpa menyadari keberadaan Amira yang berada di balik pintu terbuka dengan hati hancur berkeping-keping.

= # =

”Papa mana, Ma?”

Amira tertegun sesaat, gerakan tangannya yang menuang susu ke gelas Edgar sempat terhenti sejenak, namun segera ia meneruskan kegiatannya. Sekuat hati ia berusaha bersikap tenang dan tidak histeris. Menata kewarasannya yang begitu sulit untuk tinggal diam di kepalanya. Dengan hebatnya, ia masih sanggup tersenyum penuh kasih pada dua buah hatinya yang menatap penuh harap ke arahnya.

”Tunggu ya, Papa masih mandi, sebentar lagi juga turun,”

”Nanti, Mama jemput kita di sekolah kan?”

”Iya, ayo makannya diteruskan,”

Amira menghembuskan nafas lega melihat Edgar dan Naomi mengangguk dan tanpa banyak bertanya lagi meneruskan makan pagi mereka. Hampir saja air mata Amira terjatuh, namun, lagi-lagi ia berusaha mengerahkan sisa-sisa kekuatan yang masih ia punya. Demi dua wajah tak berdosa yang kini tengah menikmati hidangan.

Amira tadi naik ke kamar utama, untuk membangunkan Ivan, namun ketika ia baru sedikit membuka pintu, gadget Ivan berdering.

Amira terpaku. Berharap dan berdoa dalam hati, bukan Verina yang menghubungi suaminya sepagi itu. Tapi, doanya tak mendapat jawaban seperti yang diharapkannya.

Untuk sekian waktu, hati dan harga diri Amira remuk redam. Dengan tangan bergetar hebat dan airmata bercucuran, Amira mencari tumpuan di handle pintu.  Telinganya serasa pekak, mendengarkan cumbu rayu Ivan pada wanita lain. Jika memungkinkan, rasanya saat itu juga Amira ingin Tuhan membuatnya tuli, agar ia tak perlu mendengar segala kemesraan Ivan yang tidak lagi diperuntukkan baginya.

Setengah linglung Amira menyeka airmatanya, dan beranjak menjauh. Mengais segala kekuatan yang masih tersisa, untuk menghadapi Edgar dan Naomi yang telah menunggunya dirinya di ruang makan. Seperti apapun suasana hatinya, ia harus tegar dan bertahan.

”Papa!”

Amira tersentak dari renungannya mendengar Edgar dan Naomi bersamaan berseru menyambut Ivan yang tengah menuruni tangga. Ivan begitu fit dan segar dengan wajah berseri. Dibalut setelan eksekutif yang tengah berada di puncak dunia, tampak begitu matang di usianya yang menjelang kepala empat. Dan apa yang dilihatnya dari Ivan saat ini, membuat luka di hati Amira semakin menganga lebar dan menimbulkan rasa sakit tak terperi.

”Halo Jagoan! Halo Princess!”

Ivan tertawa lebar dan memberikan tos lima jari pada Edgar disambut tawa ceria khas Edgar. Sementara dengan Naomi, Ivan mengangkat gadis cilik itu dan mencium pipi gembilnya.

Dengan hati miris, Amira menyaksikan semua itu, dan berusaha tidak terlalu menarik perhatian, Amira menepi. Membiarkan Ivan berinteraksi dengan Edgar dan Naomi, berharap hal itu akan mampu menyadarkan Ivan.

WANITA PILIHANWhere stories live. Discover now