Manusia Pengagum Diksi (Katanya)

1K 75 63
                                    

Berawal dari chat dengan seseorang, yang katanya baperan... akhirnya aku sampai pada materi ini. Silakan pergi kalau kalian ingin baca hal-hal waras dan syucih... Mbak-mbak sekilo kurang seons ini akan kembali berbuat jahat.

Diksi. Pilihan kata. Eaaaa... Artinya, Anda mau pakai apa? Feses? Eek? Atau... Tai?

Pilih-dipilih-dipilih... euy!

Kisah ini berawal dari curhatan seorang teman. Sebut saja Kamboja. Mawar sedang cuti, jadi dia nggak ikutan casting sekarang. Mbak Kamboja ini membaca sebuah karya dari sastrawan Indonesia yang bergelut di aliran feminisme. Aliran soal wanita-wanita. Di wattpad mungkin sekelas chicklit gitu. Karena bahas tentang wanita yang merdeka dan mandiri dengan pemikirannya.

Sastrawan yang dipilih oleh Mbak Kamboja ini ada dua, yakni Ibu Ayu Utami dan Ibu Djenar Maesa Ayu. Yang udah pernah baca karyanya pasti hafal, kan diksi-diksi beliau? Kalau yang belum baca, silakan cek Mbah sejuta umat. Di sana udah banyak.

Lalu, Mbak Kamboja ini main ke lapak repiu sejuta makhluk. Sebut saja gudtit. Eh, aku typo. Lalu... banyak komengtator yang mengatakan buku Ibu Djenar Maesa Ayu (yg untuk selanjutnya kita singkat DMA) dg judul SAIA itu isinya kejam. Wanita yang bernafsu, wanita yang fokus ke selangkangan, lalu wanita yang anu-anu pokoknya. Mereka marah, protes karena pandangan Ibu DMA soal wanita seperti itu.

Aku? Aku mesem saja bacanya. Sebagai manusia sekilo kurang seons, aku nggak boleh marah dengan mereka. Mereka itu pengagum diksi lembut. Mereka itu lebih suka yang halus-halus. Lalu, kenapa baca yang kasar-kasar, ya? Manusia sekarang serem. Suka tantangan... Hiiii...

Menurutku, mereka salah lapak. Diksi adalah pilihan kata. Mau menyalahkan apa kalau dalam sastra? Sastra itu fleksibel. Beda dengan dunia lain. Dunia kedokteran misalnya. Tes feses, bukan tes TAI. Padahal bentuknya juga sama. Elaaah... Tapi kita salah kalau pakai tai2an itu dalam istilah kedokteran.

Dunia mereka berbeda.

Chairil Anwar pakai kata "jalang" di puisinya. Kenapa kok nggak pake "tak bermoral"? Kan lebih halus...

Sana mimik cucu dulu, Adek!

Mbah Sudjiwo Tejo pake kata "JANCUK" daripada "DASAR", "SIALAN", "NAKAL KAMU!" di bukunya. Kenapa? Kenapa?

Mbak, Mas... Mungkin kalian korban wanita (?) yang di yutub itu. Ngomong mesum tanpa sensor. Ups, beda... dia bukan bersastra! Bedanya? Fungsi. Sebab, sastra bagaimana pun... tetap harus mengandung dulce et utile. Menyenangkan dan berguna. Jalangnya Chairil Anwar berguna, kok! Jalang itu menggambarkan keliaran bangsa kita dalam melawan penjajah. (Silakan cek makna puisi "Aku"!)

Jancuknya Mbah Tejo juga berguna. Jancuk beliau adalah simbol keakraban dan kasih sayang. Karena beliau menganalogikan jancuk sebagai pisau, maka saat itu beliau sedang menggunakan jancuknya untuk mengiris daging buat sop. Sesederhana itu, guys!

Pun sama dengan diksi Ibu DMA tadi. Alur dan cerita2 beliau juga. Beliau lebih mengungkap fakta daripada bersembunyi di balik topeng norma. Kata siapa semua wanita itu malu-malu? Kata siapa wanita itu pasrah dan pasif di ranjang?

Kalau wanita pasif, mungkin bayi-bayi itu keluar dengan terpaksa. Wanita yang suka mengangkang ada? Oh, banyak! Tuna susila buktinya. Sekarang, masih mau berdiri pada stigma masyarakat kalau wanita semuanya patuh dan suka bermusyawarah? Rela menolong dan tabah?

Tidak semua, cyyyn...

Wanita dilahirkan dengan pemikiran masing-masing. Kita berbeda.

Jadi sastra yang lahir pun ibaratnya JERUK. Kalau makan jeruk gimana? Kupas kulitnya, makan buahnya, buang bijinya. Kalau bijinya mau ditelan ya silakan... :v

Sastra pun sama. Kupas dulu kalau mau makan. Kalau keselek ya salahnya sendiri, bukan salah jeruknya. Jeruk itu juga bukan hanya satu jenis. Ada jeruk Semboro, ada jeruk nipis. Jeruk Semboro lebih manis daripada jeruk nipis. Iya, lah! Tahu... tapi fungsinya beda, kan? Jeruk nipis campurkan ke air dingin plus es batu. Slruuup... seger! Atau peresin ke sambel. Nyam...

Sama dengan sastra.

Gunakan jenis sastra sesuai fungsinya. Pahami hakikatnya untuk apa. Kupas kulitnya, nikmati dalamnya, segeeerrr...! Tapi kalau kalian telan mentah-mentah, aku nggak tanggung jawab. Bukan salahku! :v

Jadi menurutku, diksi dalam sastra itu nggak masalah. Yang membedakan adalah nilai moral dan kandungan yang sedang coba dia ceritakan.

Aku juga pernah diprotes karena pakai diksi KONTOL daripada PENIS atau KEJANTANAN. *Anu... kebetinaan ada, kagak? :v Jadi sekarang aku coba mendobrak pandangan soal diksi itu. Meski agak merinding-merinding disko kalau ingat itu. Pengen aku tabok pake novel Saman, Larung, atau cerita Menyusu Ayah.

Aku punya dua contoh naskah buatanku sendiri. Satunya aku coba bikin dua contoh: satunya stensilan dengan diksi ala-ala lembut terjemahan (?), satunya lagi nyastra dengan diksi ala Mbak DMA dan Ayu.

Menurut kalian enak yang mana? :v

Sample A

Di malam pertama ini, suami baruku telanjang. Dia menunjukkan kejantanannya padaku. Aku terkejut, namun dia langsung mendekap tubuhku. Dia melucuti bajuku satu persatu. Ketika aku sudah telanjang di depannya, dia langsung menggendongku. Dia meletakkanku di ranjang, lalu memasukkan kejantanannya ke dalam vaginaku tanpa pemanasan.

"Ooohhh... Aaaaghhh... faster! Yeah, di sana, Sayang! Lebih cepat! Lagi! Ahhh... kamu luar biasa, Sayang!"

Suamiku langsung mengganti gayanya. Kami bersetubuh selama dua jam dan dia menyemprotkan spermanya ke dalam rahimku. Ah, aku malu awalnya. Namun pada akhirnya aku bahagia sekali!

(Gaachan mules di pojokan)

Sample B

Mereka menyebutnya kontol. Benda itu melayangkan lesak dengan desak. Menghujam nirwana tersembunyi di balik lembaran dara. Kontol itu berteriak, menghujati dinding yang mencengkeram erat. Menjerit tertahan karena lagi-lagi mani itu tak bisa keluar dan tertahan. Selama sekian tahun kontol itu berada di lubang senggama, tak sekalipun ia merasa selengkap ini. Kontol itu puas dengan penemuannya. Mulai sekarang, tak akan pernah ia meninggalkannya. Karena hanya pada lubang senggamanya inilah dia mengadu lelah.

(Nyengir)

Cieee... yang bayangin... :v Dari sudut manapun, aku lebih naksir yang B. Mungkin mereka-mereka lebih suka yang A. :v Tapi aku merasa hampa ketika membaca yang A. Merasa dilayangkan dengan tuduhan stensilan untuk merangsang...

*pundung*

Sudahlah, mungkin aku yang terlalu baper! Diksi, aku padamu, lah! Jadi, menurut kalian yang nyastra yang mana? Atau kalian lebih suka yang A? :v Aku gagal, ya beri contoh? :v

Karena mereka yang hanya suka meraba, tak akan pernah mengerti bagaimana rasanya. Yang manis belum tentu baik, yang pahit belum tentu buruk.


#quotes_sesat

Nih, bonusan! Aku ambil dari tuiter-nya(?) ibu DMA.

Nih, bonusan! Aku ambil dari tuiter-nya(?) ibu DMA

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Sensur... uh, sensur... siapakah kau sebenarnya? Burem-burem di tipi? :v

Sekarepmu, lah Nyul!

"Buah Bibir Gaachan"Donde viven las historias. Descúbrelo ahora