Jambu Nada menghentikan laju langkah kemudian memasang pendengarannya. Lamat dari kejauhan sana suara deru air memecah kesunyian. Ia menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.
"Sepertinya ini bukan jalan yang benar, Kakang?" Latta Manjari bersungut-sungut di belakangnya. "Tadi Kakang bilang masih hafal jalannya, mana?" gerutu gadis itu lagi, "rasanya sudah lama kita melewati jalan ini tapi kenapa belum sampai?"
"Kau bisa diam?" balas Jambu Nada ketus, "kalau kau mengoceh terus mana bisa aku berpikir."
"Ah kau terlalu sombong Kakang!"
"Apanya yang sombong?"
"Ini buktinya, tadi dengan yakin kau melewati simpang itu seharusnya kita mengambil sisi kananya."
Jambu Nada siap melangkah kembali, namun gadis di belakangnya itu malah duduk berselonjor di tanah.
"Bisa kita istirahat sebentar, Kakang?"
Jambu Nada berbalik ketika mendengar suara gadis itu terdengar lemah, dari obornya ini terlihat wajah Latta Manjari sedikit pucat. Keletihan, itu pasti. Keringat dingin juga membening di pelipisnya. Lalu pemuda itu mengedarkan pandangan, tatapannya berhenti pada sebongkah batu yang cukup pipih. "Kita ke sana!" ujarnya.
Putri cantik itu berdiri sambil menepas-nepas bokongnya, lalu mengikutinya dengan memasang muka cemberut.
"Baringlah barang sebentar," kata Jambu Nada. Ia turun dari batu yang baru saja dialasinya dengan daun-daun, "aku akan membuat perapian." Ia mengumpulkan ranting-ranting kecil lalu dionggokan tepat di depan batu pipih, mulai menyulutkan obornya, lalu terciptalah unggun kecil cukup untuk menghangatkan tubuh.
Jambu Nada kaget saat mendengar gadis itu berteriak, ia meloncat dan menghampirinya. "Kenapa?" tanyanya cemas.
Gadis itu memperlihatkan jarinya. Jambu Nada mendekatkan obor, di ujung telunjuknya terdapat bekas luka gigitan binatang. Dengan cepat ia meraihnya, dihisapnya guna membuang racun yang masih menempel. Ia meludah dan menghisap berulang. Lagi dan lagi. Setelah dirasa cukup ia merogoh sulungan kecil dalam lipatan kainnya dan menaburi dengan serbuk ramuan yang selalu dibawa-bawa.
"Suara apa itu, Kakang?"
"Itu hanya burung malam, tidak ada apa-apa di sini."
Jambu Nada mengurungkan niatnya untuk kembali ke perapian saat kainnya digamit gadis itu. "Kenapa?"
"Bisakah kau duduk di sini saja, Kakang?"
Jambu Nada menarik napas. Dari air muka gadis ini menjelaskan warna hatinya. Ia cukup heran dengannya. Biasanya kalau bicara selalu tidak ingin terlihat kalah, menggambarkan kecerdasaanya dalam berolah kata sebagaimana ia memang seorang putri yang terpelajar. Untuk seorang perempuan ia adalah jenis perempuan yang pemberani. Namun kali ini kenapa hanya dengan suara burung membuatnya ketakutan?
Gadis itu memeluknya tubuhnya sendiri. Menekukkan kedua lutut dengan pandangan tertuju pada perapian.
"Kakang pernah merindukan biyung Kakang?" tanyanya tiba-tiba.
Jambu Nada mengerutkan kening yang belum pernah ia perlihatkan pada gadis itu. Ia menatapnya, "Kenapa kau bertanya hal yang seperti itu?"
"Beruntung ya mereka memiliki orang tua yang lengkap," ujar Latta manjari lagi dengan suara yang lirih.
"Bukankah ibundamu memperlakukanmu dengan baik?"
"Kadang aku menanyakan pada Hyang Widhi kenapa aku tidak diberikan kesempatan untuk melihat kedua orang tuaku, atau sekadar mengenal mereka," sahut Latta Manjari itu tanpa menyentuh pertanyaan Jambu Nada.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATRIA WILWATIKTA
Historical FictionWaktu terus berjalan, tidak peduli dengan mereka yang terjebak dengan masa lalu. Rangkaian kehidupan yang merupakan kumpulan dari sekantong tawa dan tangis. Perjalanan anak manusia mencari jati diri. Mengabdi dengan cara yang berbeda. Inilah kisah N...