Čhäp#11

58.5K 6.4K 436
                                    

Cubitan untuk kesekian kali mendarat di pipi. Bayangan peristiwa tadi siang masih melekat, menempel jelas seolah baru saja terjadi. Rona malu bersemu bersamaan  munculnya getar aneh di perut. Debar jantung sulit berdetak  normal ketika imajinasi mereka ulang adegan Barra mengungkapkan keseriusannya dalam adegan lambat.

"Wajah kamu merah. Kamu demam,Ra?" tanya Ayah dari balik kemudi. Sepulang dari rumah Nenek, Bunda memilih tinggal di sana sementara kami berdua pulang.

Aku mengigit ibu jari lalu memalingkan pandangan keluar jendela. Ada sesuatu yang mengharuskan diriku menahan diri untuk tidak memperlihatkan reaksi berlebihan di depan Ayah. "Nggak apa-apa, Yah. Cuma kecapekan aja." Dengan sengaja aku menguap, berharap pembicaraan berhenti.

"Ayah sempat lihat kamu dan Barra mengobrol di acara tadi. Kalian sudah berbaikan."

Ketegangan mendadak memenuhi seluruh tubuh. Takut sekaligus gugup menyerang ketenangan. Memasang wajah datar menjadi pilihan terbaik untuk menghindari kecurigaan. "Memangnya ada yang salah kalau Vira ngobrol dengan Kak Barra? Ayah tidak suka bila kami berbaikan?"

Ayah tersenyum sesaat lalu menghilang. "Bagus, kalau memang  kalian berdua sudah berbaikan. Ayah hanya ingin mengingatkan, pertahankan hubungan yang sudah baik ini. Kalian berdua sudah seperti kakak dan adik. Jangan rusak dengan perasaan yang belum pasti. Kamu mengerti maksud Ayah."

"Ayah tidak setuju kalau aku suka sama Kak Barra seperti dulu, begitu?" tanyaku tak ingin menduga-duga lagi.

"Benar. Om Andra juga sudah menekankan hal ini pada kakak kesayanganmu itu." Ayah melirik sekilas, memperhatikanku yang tanpa sadar mengigit bibir keras. "Kamu masih menyukainya? Kalau memang begitu, lupakan dia. Ayah tidak akan pernah menyetujuinya." Perintah di balik suara Ayah bukan untuk dibantah. Tegas dan super serius.

"Vira capek, Yah. Mau tidur." Menutup pembicaraan merupakan pilihan terbaik bila tidak ingin memperburuk mood sepanjang jalan pulang. Ayah hanya diam. Ia sangat mengenal karakter putri tunggalnya bila sedang kesal.

Berapa jam berlalu akhirnya kami tiba di rumah menjelang malam. Aku bergegas menuju kamar lebih dulu tanpa menunggu Ayah keluar dari mobil. Pembicaraan terakhir kami masih menyisakan perasaan dongkol. "Vira ke kamar dulu, Yah."

"Kamu tidak makan malam dulu?" tegur Ayah dari belakang.

"Vira masih kenyang," sahutku tanpa menghentikan langkah.

Setiba di kamar, aku menghempas tubuh pada ranjang. Bayangan Barra kembali muncul, memenuhi semua ruang di kepala. Bantal yang berada paling dekat kupeluk sambil memejamkan mata. Semua masih terasa seperti mimpi, ya mimpi indah sekaligus buruk bila mengingat ancaman Ayah.

Deringan ponsel memaksa mataku terbuka lebar, memerintahkan otak untuk menggerakan tubuh sebelum deringnya berhenti. Gerutuan meluncur, kesal karena merasa cukup  terganggu. Aku bangkit dan mendekati nakas, merogoh tas yang kuletakan di atas meja kecil itu. Hanya butuh waktu sedetik untuk membuat jantung bagai dijungkir balik ketika meraih benda yang dicari.

Ketegangan sontak menyeruak, bahkan jemari bergetar karena gugup. Nama Barra tertulis jelas pada layar.  Tak peduli berapa kali napas berhembus, getaran di sekujur tubuh tak juga mau beranjak. "Halo," sapaku, mengatur nada sewajar mungkin.

"Halo. Kamu sudah sampai di rumah?" Pemilik suara di seberang sana terdengar menahan tawa. Sial.

"Baru saja. Ada apa, Kak?" Sebisanya aku bersikap seolah kejadian istimewa di antara kami tidak pernah ada.

"Iseng," jawabnya enteng. "Besok Kakak jemput." Kalimat yang Barra ucapkan terkesan memaksa.

"Untuk apa?" Semakin lama, aku merasa seperti sedang membodohi diri sendiri.

I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)Where stories live. Discover now