;10

106 19 3
                                    

Di bawah langit sore nan teduh, Jimin pernah berujar, tentangnya yang tak ‘kan pernah absen barang sehari dari pandangku meski langit laksana atap yang akan runtuh. Ia juga yang berujar akan hadir kapanpun aku membutuhkannya.

Namun kali ini ia ingkar, dengan tak hadir meskipun aku memintanya. Puluhan panggilan yang dilayangkan ke ponsel pintarnya tak digubris, sama halnya dengan puluhan pesan yang dikirimkan ke destinasi yang sama.

Mungkin ia sibuk, atau yang buruknya, berpura-pura sibuk.

“Tidak makan siang, Nona?”
Mengangkat kepala dari layar komputer jinjing bercahaya rendah, aku mendapati Kim Taehyung berdiri di sisi, dengan kedua tangan menggenggam dua gelas kertas—yang kutebak berisi kopi. Lantas aku menggeleng, membuatnya mengulas senyum tipis seraya menarik kursi di dekatnya—menempatkannya di dekatku kemudian.

“Menunggu Jimin lagi?”
Lagi, ia melontar tanya dan aku memberinya jawaban dengan anggukan singkat yang membuatnya mendesah. Gelas kertas di tangan kirinya ia dorong ke hadapanku sementara yang satunya lagi ia nikmati sendiri. Aromanya menusuk hidungku dengan buru-buru hingga aku tersadar gelas di hadapanku berisi teh hijau yang memikat, bukan kopi yang sebagaimana aku terka.

“Aku tahu kau tidak menyukai kopi.” ucapan selanjutnya membuatku mengukir senyum seraya menyesap lamat-lamat teh yang ia berikan.

“Kau tahu kau tak perlu menunggu Jimin selagi ada aku ‘kan?”

Tanyanya seakan menghantam kepalaku dengan batuan, yang segera kubalas dengan tolehan kepala tanpa diikuti oleh anggukan membenarkan.Taehyung tentu tahu Jimin, sahabat nomor satunya dan Hoseok yang kemudian tumbuh dengan jalannya sendiri─lupa dengan segala kisah yang diciptakannya bersama Taehyung dan Hoseok.

Kerap kali para wanita yang berperan sebagai teman sejawatku berbagi cerita tentang Taehyung yang didewakan. Bodoh katanya jikalau ada yang menolak Taehyung mentah-mentah padahal sudah pasti hidupnya akan terjamin di kemudian hari. Taehyung tentu lebih tampan dari Jimin, berbanding lurus dengan pendidikannya yang jauh lebih tinggi di atas Jimin.Pekerjaannya sebagai komandan muda tak perlu diragukan lagi.

Tapi … aku tak tahu apakah Taehyung sebaik Jimin atau tidak.

“Hei, kenapa aku seperti bermonolog sih?”

Tersadar dari lamunan, aku melihatnya mengukir tawa kecil. Sama sekali tak terganggu denganku yang kerap kali tak menanggapi kata-katanya. Entah memang begitu sikapnya atau hanya karena ingin aku lupa dengan Jimin.

“Tae, kurasa aku akan membeli makan siang.”Aku berdiri, dan dia ikut melakukan yang sama.

“Aku antar, ya?” Ia menawarkan dan kubalas dengan gelengan singkat, dibarengi langkah menjauh darinya, meninggalkannya yang termangu.

*

Sejujurnya, pernyataanku untuk mencari makan siang hanya kujadikan alasan guna menjauh dari sang Komandan. Kendati pada akhirnya aku berbelok juga ke gang sempit di sisi toko pakaian wanita—menuju jalan praktis yang menurut perkataan Jimin tempo hari akan mengarahkanku pada toko roti di blok seberang. Sampai─

“Jim?”

─aku melihat Jimin dengan tangan kanan dipenuhi darah.

Aku menemukan Jimin terduduk di sana, sedang wajahnya ia sembunyikan di balik lutut.

“Kau bodoh atau apa sih?”

Ia mengangkat wajah begitu rungunya menangkap suaraku, menemui tatapan marah yang ku lemparkan pada pemuda berambut kelabu itu.

“Maaf,” katanya, dan aku bisa merasa sejuta penyesalan di baliknya.

Beberapa luka sayatan di lengan kanannya—yang buru-buru kubalut dengan sapu tangan jelas memiliki peran penting. Namun alih-alih bertanya, aku merengkuhnya, meraih pundaknya yang bergetar ketakutan.

“Jangan seperti ini lagi, Park.” gumamku dan rasanya ia tak bisa mendengar itu.

Jimin tak menyahut lagi, namun terisak dalam rengkuhanku─menyuarakan penyesalannya yang bertubi-tubi.

Maaf, Jim. Maaf karena aku tak sadar betapa sulitnya hidupmu.

  ─  

어서 날 안아

꽉 잡아줘 날 안아줘

꽉 끌어안아줘

제발 제발 제발 끌어안아줘

Hurry and hug me

Hold me tight, hug me

Pull me in tight

Please, please, please pull me in and hug me


-

;a/n;

Luka sayatan?
Jimin, sayangku, kenapa sih?
Tunggu minggu depan untuk kelanjutan ceritanya, ya! Dan, jangan lupa untuk vomment!

Salam sayang, adorkablecandy.

StigmaWhere stories live. Discover now