Batin sepeda tua - I

231 17 14
                                    


Aku sepeda tua yang terbunuh oleh zaman disimpan di gudang tertindih meja bekas, buku-buku tebal tipis berserakan, dan lemari yang sedikit demi sedikit habis dimakan rayap. Aku rindu berkeliling taman bersama manusia yang sekarang dipanggil kakek oleh keluarganya. Aku juga rindu melewati aspal dan bertemu teman-teman sepeda ku atau pada andong dan kuda-kuda yang menariknya.

Dulu dikala sendi-sendi kakek masih kuat akulah yang diajaknya menelanjangi hari menyusuri desa tanpa tujuan, hanya sekedar untuk mengindahkan suasana hati dikala sore menjelang senja, bahkan aku masih ingat tempat yang paling sering dikunjung oleh kami yaitu bukit paling tinggi di Desa dan dengan berada di sana bisa terlihatlah semua tata letak bangunan yang telah semakin banyak berdiri di Desa ini, manusia sering menyebutnya perkembangan zaman entah apa itu aku tidak mengerti yang jelas jika sudah sampai di atas sana yang kakek lakukan pasti menulis. Mungkin kakek ingin mendapat suasana yang puitik untuk setiap tulisannya, yang kemudian aku ketahui bahwa yang kakek tulis adalah puisi-puisi yang sekarang bernasib sama sepertiku terasing tak pernah disentuh lagi di gudang.

Selagi kakek menulis aku selalu disandarkan pada pohon yang bernama Aksari. Aksari itu jenis pohon beringin yang kumpulan batangnya menjulang indah membentuk payung, meneduhkan siapa saja yang berada disekitarnya. Batang utamanya sangat besar dan ditopangi oleh akar-akar yang menghujam bumi sangat kuat. Selain menyejukan dan meneduhkan Aksari juga sangat baik, dia selalu menyambut dengan sapaan ketika aku tiba dan yang paling aku sukai dari Aksari adalah ceritanya mengenai bumi manusia yang serba fana dan sementara. Entah bagaimana Aksari bisa mempunyai banyak wawasan tentang persoalan bumi manusia, padahal dia tidak bisa bergerak.

Disaat kejayaan telah berada pada puncaknya kita harus hati-hati karena sebentar lagi kehancuran akan datang hendak mengganti. Disaat kebahagiaan terasa hingga kehati kita harus hati-hati karena kesedihan akan datang berikutnya. Disaat tangis sedih menbanjiri diri kita harus bersyukur senyum kemenangan sebentar lagi berkibar. Semuanya datang beriringan tidak pernah kekal, tidak pernah lama, tidak pernah terus. Pasti berganti dan berputar. Begitulah kiranya pesan dari cerita-cerita Aksari si pohon besar sahabat ku untuk bersandar. Disaat kakek sudah menghabiskan semua perasaanya kedalam tinta yang dirangkai menjadi kata. Kami pulang dan Aksari kesepian. Selalu ada beberapa daun dari Aksari yang digugurkan saat melihat kami turun itu adalah ungkapan sedih seorang pohon. Tenang saja aksari aku dan kakek akan selalu kesini.

Ternyata kakek menulis hingga hampir satu buku penuh, ada yang dalam bahasa melayu, sunda, ataupun belanda. Aku selalu menyadari sedari dulu bahwa kakek adalah orang yang berpendidikan dan terpandang di antara manusia lain di sekitarnya terbukti ketika kami berpapasan dengan manusia lain kakek akan disapa kemudian senyum atau kakek yang menyapa duluan, sungguh para manusia itu baik, sama seperti kami para sepeda yang membedakan hanya manusia bisa pergi bebas semaunya dan kami hanya bisa pergi menuruti kehendak manusia.

Aku terkadang iri terhadap manusia yang selalu menaiki kami, sesekali aku berpikir untuk kapan sekiranya aku yang bergantian menaiki manusia dan menyenderkannya di sebatang pohon atau di tiang-tiang jalan lalu ku ikat dengan rantai agar tidak dicuri sepeda lain. Tapi sudahlah kurasa itu hal yang mustahil dan bodoh, dengan sering dinaiki malahan aku merasa sangat nyaman dan berguna. Tidak seperti temanku Jeri, sepeda hitam dengan lampu yang sudah tidak menyala, ban yang kempes dan rantai yang berkarat itu... Jeri sering diam di pekarangan rumah sembari murung tak dinaiki seperti sepeda lainnya, yang pada kemudian hari hal yang sama dirasakan olehku sekarang.

Pada waktu itu aku sangat iba kepada Jeri karena empunya selalu mencampakan dan lebih senang berpergian menaiki andong sementara Jeri dibiarkan tergeletak tercekik, pernah aku ingin menghampiri jeri dan melepaskan rantai yang mengikat dilehernya untuk kemudian ku ajak berlali mengejar kebahagiaan, namun sekali lagi itu hal yang mustahil karena bagaimanapun hidupku sudah sepenuhnya dikuasai oleh kakek, aku hanya bisa melemparkan senyum iba kepada Jeri dan kemalangannya, sambil sesekali memberi motivasi sekiranya semuanya pasti akan berakhir baik dan manusia itu baik, percayalah Jeri.

Menurutku kebahagiaan suatu objek adalah ketika tujuan dan fungsinya terjalankan dengan baik. Seperti sepeda yang senang bila dinaiki dan digowes, begitu juga mungkin pohon senang disandari atau disirami. Tetapi perasaan senang itu kini tak pernah kurasakan lagi. Berawal dari telah datangnya mesin yang dibawa dari eropa ke sini yaitu yang sekarang dikenal sebagai motor dan mobil.

Aku benci terhadap motor sejak pertama kali melihatnya bukan hanya karena menyingkirkan eksistensi ku dihadapan manusia, tetapi juga karena motor mengeluarkan asap yang dapat menyesakan pohon dan serangga ataupun kunang-kunang, aku mendapat informasi ini dari teman pohon ku yang bernama Tira. Tira mengutuk semua motor karena udara yang dihirupnya kini semakin berat berkat asap-asap yang dikeluarkan motor. Tapi entahlah mungkin manusia tidak sadar dan terlena oleh kemudahan yang disajikan teknologi, Kakek yang kukira akan berbeda dengan manusia lainnya dan tetap memilih ku sebagai kendaraan karena ku piker, kakek berpendidikan dan akan berprilaku untuk kebaikan bersama. Ternyata dugaanku salah, kakek sama seperti manusia yang lainya menyerah pada kemudahan teknologi dan memilih motor.

Disaat itu aku sangat kecewa dan marah kepada kakek. Tapi aku sadar bahwa aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku ini hanya sepeda tua yang terlupakan, tak bisa bergerak sendiri, tak bisa berdiri sendiri, aku juga tidak bisa menghentikan arus revolusi dan modernisasi. Bodoh!

Seperti yang kalian tahu di sinilah aku sekarang. Di gudang belakang rumah, gelap pengap Sedikit sekali cahaya matahari yang bisa masuk ke sini. Aku dikumpulkan bersama semua barang yang kecewa dari kumpulan yang terbuang. Tidak pernah lagi aku bertemu Aksari padahal aku sudah berjanji akan selalu kesana hingga rodaku tidak dapat berputar lagi, dan sekrang aku sangat rindu bagaimana keadaanya. Ah, tapi aku yakin pasti selalu ada yang menyirami dan menyandari Aksari, sembari mendengarkan cerita-cerita hebatnya.

Bagaimana juga keadaan Jeri sekarang? Aku ingin sekali berbicara denganya bahwa keadaan Jeri dan kemalanganya, Kini aku rasakan, kepahitan dicampakan dan aku hanya bisa menunggui detik agar cepat membunuhku menjadi debu.

Bagaimana juga keadaan Jeri sekarang? Aku ingin sekali berbicara denganya bahwa keadaan Jeri dan kemalanganya, Kini aku rasakan, kepahitan dicampakan dan aku hanya bisa menunggui detik agar cepat membunuhku menjadi debu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Batin Sepeda TuaWhere stories live. Discover now