BAB 19 Ⅱ Artha

3.6K 582 7
                                    

ARTHA

"Ar, please," sekali lagi aku mengerlingkan mataku di hadapannya. Aku sudah muak, tapi bagaimanapun, rasanya aku memang memiliki hak untuk berdiri di sampingnya sekarang. "kasih gue kesempatan." Aku memandangnya datar. Tanpa minat.

Dari lain arah, kudapatkan seorang laki-laki mencuri-curi pandang ke arah kami. Aku hanya berdesah berat ketika melihatnya berlalu. Entah kenapa, jauh darinya membuatku agak merindukan semuanya. Pertikaian-pertikaian kecil, keributan tiada henti, rasa benci tak berkesudahan, sampai aku merindukan satu hal yang tak lazim. Senyumnya. Lesung pipit di pipi kirinya yang manis. Kacamata biru dongkernya. Jambulnya. Segalanya.

"Lo dengerin gue enggak sih, Ar?" aku lekas-lekas mengalihkan pandangku dari punggung yang terbalut batik hijau, kembali memandang Gheo yang sejak tadi tiada henti bicara padaku. Aku menggeleng pelan; takut-takut. "Whatever, Ar. Tapi yang penting, lo harus tau kalau gue enggak nerima penolakan."

Aku abai dengan ucapannya. Dengan cepat aku naik ke motor Gheo, dan hanya berucap, "Gue banyak tugas. Anterin gue pulang sekarang, atau gue bakalan pulang sendiri, Kak." Sementara Gheo tak bicara lagi setelahnya. Ia turut naik ke motornya, dan melaju cepat stelah menyodorkan helm kepadaku.

Mungkin Billa tidak akan pernah memaafkanku setelah ini. Aku mengabaikan permintaannya, dan justru melakukan apa yang semestinya tidak kulakukan. Aku jatuh cinta, lagi. Sungguh, aku baru sadar sekarang, kalau rasa sayang bisa terasa hanya karena kehilangan.

Namun, semestinya tidak seperti ini. Meski bukan jatuh kepada orang yang salah, tapi apa yang kurasakan ini jauh lebih buruk daripada sekadar salah.

Seharusnya aku tidak jatuh hati pada orang yang sudah dicintai dan mencintai orang lain.

+ + +

Ujung sepatu yang agak kotor masih menjadi perhatianku sejak dua puluh menit yang lalu. Sudah ada tiga bus yang lewat di depan pintu halte, dan sudah tiga bus yang aku abaikan. Mataku hilir mudik ke mana-mana, mencari laki-laki yang biasa berdiri bersamaku, di sini.

Besok adalah hari ulang tahunnya yang ketujuh belas, dan sampai detik ini, aku masih belum bicara padanya. Mau tidak mau, aku harus bicara. Aku harus bilang padanya kalau aku perlu mengatakan sesuatu yang sangat penting besok. Aku juga harus menyampaikan padanya, bahwa Billa ... mencintainya.

"Ar?" aku menengadah ketika mendengarnya. Hanya menengadah, memandanginya dalam diam, dan tak berpikir sama sekali. "Tumben lo jam segini masih di halte. Kesiangan?"

Gue nungguin lo.

Aku menggerayangi tengkukku, "Enggak juga, sih. Tapi ya nungguin bus aja dari tadi," kilahku enteng. Jaka hanya tersenyum dan mengedikkan bahunya, kemudian duduk di sebelahku, sama-sama menunggu.

Tidak ada satu pun di antara kami yang buka suara lebih dahulu. Jaka tampak sibuk dengan ponselnya, sementara aku hanya mengayun-ayunkan kakiku sambil memandang ke arah tak menentu. Aku ingin bicara, tapi sulit.

"Ar, ayo!" Ia beranjak dari kursi, kemudian melangkah berlalu. Aku hanya berdesah pasrah, dan mengikutinya berjalan ke pintu sebelah kiri. Kami masuk, dan langsung menempati dua kursi yang masih kosong.

Dddrrrttt.

Jaka Almi S. : Is it okay to talk?

Aku menoleh ke kanan, balik menatap Jaka yang menunjukkan senyumnya. Senyum yang sudah kurindukan sejak kemarin, kemarinnya, kemarinnya lagi, dan kemarin kemarinnya lagi. Aku mengangguk, dan membalas senyumnya sekilas.

"Kemarin gue ketemu seseorang waktu pulang sekolah," Jaka memulakan ceritanya, sementara aku siap menjadi pendengar setianya. "namanya Anton. Dulu tuh dia selalu sama Icha kalau kompetisi bahasa Inggris."

Anton? Jaka bertemu dengan Anton kemarin sore? Sial. Semestinya kemarin aku benar-benar meninggalkan Gheo dan pulang bersamanya. Banyak hal yang juga ingin kusampaikan pada Anton. Aku ingin bilang padanya, kalau aku tak tahu bagaimana caranya menyampaikan kepada Jaka apa yang Billa minta.

"Terus gimana? Lo dapat kabar tentang Icha, enggak?" pertanyaanku bodoh, mungkin. Tapi, tetap saja, aku harus bersikap seolah-olah aku tak paham bahwa Icha adalah Billa, setidaknya di hadapan Jaka. Meskipun aku dapat keyakinan kalau Jaka sudah tahu, bahwa Billa adalah Icha-nya.

Jaka menggeleng, tersenyum getir. "Anton hampir ngomong sesuatu, tapi dia keburu pamit pergi waktu busnya berhenti di halte Pasar Jatinegara," katanya. Sayang sekali. Padahal aku yakin Anton akan mengatakan sesuatu yang penting tentang Billa.

"Ih, kenapa dia enggak ngomong dulu sih? Tanggung banget kan?" aku sok-sok berpihak pada Jaka. Padahal aku tahu apa yang akan Anton katakan, seandainya ia sempat bicara. Karena jika Anton sudah mengatakannya pada Jaka, aku tak perlu lagi menyampaikan pesan Billa pada Jaka besok. Tapi, Anton justru membuyarkan semuanya.

Jaka mengedikkan bahunya, "Ya udahlah, Ar, enggak penting juga. Lagian, gue juga udah enggak mau mikirin Icha terus." Senyum Jaka mengembang lagi beberapa saat. Aku balik tersenyum. Secepat itu Jaka melupakan Billa. Padahal, beberapa hari silam di Dunkin' Donuts lalu, Jaka bilang ia tidak akan lupa pada Billa jika aku masih berada di dekatnya.

Aku tahu, mungkin sulit baginya untuk melupakan Billa jika Jaka terus-menerus melihatku setiap harinya. Tapi, sekarang semuanya terasa sudah berbalik. Sudah baik-baik saja. Jaka terlihat baik-baik saja dengan aku di sebelahnya.

Kami tak bicara lagi. Sama-sama menyibukkan diri dengan ponsel, sampai tiba di kelas, dan akhirnya berpisah untuk menempati kursi masing-masing.

Aku mencuri pandang ke arahnya tiap beberapa menit sekali sepanjang jam pelajaran. Sejak semalam aku tak bisa berhenti memikirkannya, dan memikirkan Billa. Betapa Billa beruntung seandainya ia masih ada. Ada laki-laki seperti Jaka dan Gheo yang benar-benar sayang padanya.

Tapi sayangnya, semua hanya menjadi angan-angan. Berharap Billa masih berada di sisiku hanyalah sebuah angan-angan belaka. Nyatanya, Billa pergi, meninggalkan masalah yang harus kuusaikan bersama Gheo, dan meninggalkan Jaka.

Mungkin Tuhan memang sengaja mempertemukanku dengan Jaka, untuk meluruskan segala kesalahpahaman di antara Jaka dan Billa. Tapi aku bodoh. Aku hanya perlu meluruskan kesalahpahaman yang timbul, bukan justru mengambil kesempatan lain di momen seperti ini.

Pasti Billa marah jika ia melihat aku selalu berada di samping Jaka. Pasti Billa marah jika ia tahu aku tidak mau bersama dengan Gheo. Pasti Billa marah jika ia tahu aku tidak mau mendengarkan semua omongan Gheo. Pasti Billa juga akan marah jika besok aku tidak menemui Jaka untuk memberikan hadiah kecil miliknya. Tapi, Billa pasti akan jauh lebih marah jika aku seperti ini, mencintai seseorang yang tidak semestinya kucinta.

Mungkin aku harus melangkah ke belakang, sebelum semuanya terlambat. Sebelum aku jatuh lebih dalam, sebelum aku masuk ke kehidupannya lebih jauh, sebelum aku mengubah banyak hal dalam hidupnya, dan sebelum aku memengaruhi hatinya.

Karena terkadang, melangkah mundur sebelum maju itu perlu. Ketika aku tahu bahwa semua ini salah.

"Lo pulang sama kak Gheo lagi, Ar?" aku menghentikan langkahku sebentar, dan berbalik memandang Jaka. "Dari kemarin lo pulang sama kak Gheo. Jadi, gue pikir lo bakalan pulang sama dia lagi hari ini."

Aku mengedikkan bahu, "Enggak, Jak. Gue pulang naik busway," jawabku enteng. "dan gue bakalan pulang naik busway terus mulai sekarang." Jaka hanya terkekeh, kemudian melanjutkan langkahnya.

Sungguh, semuanya sudah biasa saja. Seperti tidak ada apa-apa. Seolah-olah tidak ada yang terjadi kemarin. Well, memang tidak ada yang terjadi, sih, hanya saja, Jaka dan aku tak berkomunikasi sama sekali.

"Jak, besok lo ada acara enggak?" tanyaku di sela-sela waktu menunggu bus. Jaka hanya menggeleng. "Mau nemenin gue enggak? Jalan-jalan aja sih, ke mana aja."

Jaka terdiam sebentar. Kami bersitatap. "Tapi, gue enggak bisa seharian full nemenin lo," katanya, "Kalau mau, pagi sampai siang, atau sore sampai malam."

Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan, "Yaudah, besok jam dua siang gue tungguin lo diCoffee Bean yang di Transmart, ya."

[TJS 1.0] JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang