Pangeran Itu Ternyata...

7.2K 801 32
                                    

Sha menatap ke depan. Ke arah direktur keuangan, Arfa Wirakusumah, dia sedang memimpin rapat divisi keuangan. Bagi Sha, Arfa selalu mempesona. Pembawaannya berwibawa dan yang tak kalah penting Arfa tampan.

Siapa yang menyangka sang ketua OSIS di SMA-nya dulu adalah pangeran berkuda hitam yang menawari Sha komitmen seumur hidup. Setahun yang lalu, tepat seminggu setelah Sha wisuda, ijab qobul di hadapan penghulu diucapkan. Sha resmi diperistri Arfa. Kedua sahabatnya heboh, bahkan Dania yang pernah suka pada Arfa, sampai memboyong keluarga kecilnya dari Singapur ke Bandung demi menghadiri pernikahan Sha dan Arfa.

Pasca menikah Sha diperbolehkan bekerja asal masih sekantor dengan Arfa. Arfa bekerja sebagai direktur keuangan di perusahaan properti milik keluarganya. Dan Sha bekerja di divisi yang sama dengan Arfa. Saat itu Sha merasa hidup seperti di negeri dongeng. Arfa pria yang baik dan menyayangi keluarganya. Soal ketampanan dan kekayaan Arfa, itu Sha anggap sebagai bonus.

Arfa, Sha anggap sebagai pangeran berkuda hitamnya.

Tanpa sadar Sha menyunggingkan senyum. Rapat sudah ditutup dan ruang rapat sudah kosong. Tinggal Arfa dan Sha yang ada di ruangan. Seperti biasa, Sha melamun. Tak menyimak hasil keputusan rapat tadi.

Arfa menghampiri Sha. "Kakak pulang malam sepertinya. Kamu mau pulang bareng siapa? Kakak telponkan taxi ya."

"Ga usah kak, Sha pulang bareng nindya aja."

"Oh ya udah, hati-hati yaa. Bilang sama nindya jangan ngebut-ngebut." Sha mengangguk. Arfa membelai lembut puncak kepala Sha, dan berlalu.

Tak lama bunyi notifikasi WA terdengar, Sha menyalakan Hp-nya. Ada pesan dari nindya.

Sha aku duluan yaa. Adikku minta dijemput.

Segera Sha mengetik balasan

OK.

"Yahh, naik angkutan umum lagi dehh," gumam Sha.

-

Makan malam sudah terhidang. Selanjutnya waktunya Sha untuk berdandan. Tak salah bukan ingin tampil cantik di hadapan Arfa, pikir Sha.

Dress selutut, rambut sebahu yang digerai, tak lupa sentuhan make-up minimalis. Sha merasa cukup cantik malam ini.

Dilihatnya jam dinding. Jarum pendek menunjuk ke angka sepuluh. Biasanya Arfa sedang dalam perjalanan. Sha melarikan pandangannya ke penjuru apartemen. Apartemen yang luas dan nyaman, furniturnyapun berkelas. Sepertinya dia akan merindukan tempat ini.

Bel apartemennya berbunyi. Sha menghampiri pintu dan membukanya. Tampang kusut Arfa menyembul dari balik pintu.

"Assalamu'alaikum," salam Arfa.

"Wa'alaikumussalam." Sha mencium punggung tangan Arfa. "Malem banget kak pulangnya."

Arfa hanya merespon dengan senyuman. Dia benar-benar lelah. Arfa menuju kamarnya, mandi adalah rutinitas Arfa yang berikutnya. Rutinitas penutup hari sebelum ke peraduan.

Sebelum mencapai pintu kamar, Arfa menoleh ke meja makan. "Kamu masak?"

Sha mengangguk penuh harap.

"Kakak mandi dulu, sayurnya nanti kakak gadoin boleh?"

"Boleh banget kak." Sha tersenyum lebar.

-

Di meja makan Arfa terlihat lahap memakan sayurnya, padahal Arfa sudah kenyang. Di hadapannya, Sha melihat dengan senyum geli. Arfa lalu memandang Sha, ikut tersenyum juga.

"Gimana kabar mami?" tanya Sha membuka percakapan.

Tangan Arfa yang menggenggam sendok menggantung di udara, Arfa menjawab, "mami sehat."

Menanti Sakinah [Pindah Ke Cabaca]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang