1

13.7K 1.5K 183
                                    

Prospek hidup gue untuk lima tahun ke depan sebenarnya bisa dikategorikan biasa-biasa aja. Gue belum punya rencana-rencana khusus yang terancang. Setamat SMA gue akan kuliah di salah satu universitas di Jakarta (gue nggak bergantung pada negeri atau swasta, toh banyak yang bilang kalau almamater nggak selalu menjamin kualitas mahasiswanya), lalu gue akan bertemu kembali dengan teman-teman SMA.

Gue akan memperluas lingkup pertemanan, mencari pacar salah satu anak teknik atau kakak tingkat (kata abang gue, biasanya anak teknik dan kakak tingkat selalu menjadi incaran mahasiswi baru untuk dijadikan cowok idaman bersama), lalu berkuliah dengan tenang sampai sarjana. Setelah itu gue akan melamar kerja, jatuh cinta kembali, menikah, dan mempunyai anak-anak yang lucu.

Klise dan biasa.

Menurut gue, SMA itu cuma pemberhentian sesaat. Kehidupan yang sebenarnya akan diawali oleh masa-masa kuliah. Gue akan mulai memikirkan koneksi sosial, karier, uang, dan percintaan yang bukan lagi cinta monyet picisan semata.






. . . .

Hah! Apa kalian yakin hidup akan semulus pantat bayi seperti itu? Nggak, teman. Semua pun berakhir di luar rencana gue.

Masa-masa penuh kejadian di luar ekspektasi gue diawali dengan libur panjang setelah SMA. Liburan yang bisa sampai tiga bulan, yang membuat gue cuma menumpuk lemak atau maraton TV series bersama Abang dan Mama di rumah. Selama liburan, gue merasa bosan banget, cuma menunggu perut minta diisi dan bokong minta diduduki di atas toilet.

Seperti sekarang, gue lagi asik mengemil jajanan kaya akan MSG bersama Abang di dalam kamar. Gue dan Abang goler-goleran sejak dua jam yang lalu. Nggak tahu Mama di dapur sedang menggoreng lauk atau malah membakar rumah. Mengingat Mama yang suka lupa kalau lagi masak karena keasikan chattingan bersama geng arisannya.

Gue dan Abang lagi asik melihat video masak-memasak di platform tabung merah. Entah kenapa ini jadi hobi aneh gue dan dia kalau sudah menghabiskan waktu berdua. Cuma dengan melihat koki-koki Italia memasak dan menghias kue, berhasil membuat gue dan Abang kenyang lahir dan batin.

Lagi asik-asiknya Abang bengong melihat koki yang menyelupkan stroberi ke dalam cokelat kental, dan gue yang bengong melihat wajah tampan kokinya, Mama yang cantiknya sebelas duabelas dengan gue masuk ke dalam kamar sambil melongokkan kepala dari pintu dan memberikan cengiran kepada kami.

Percaya, deh, gue dan Mama itu cantiknya memang sebelas duabelas. Nggak mungkin gue malah cantik seperti sekretarisnya Papa? Terakhir kali gue cek di Akte Kelahiran, orangtua gue itu Mama dan Papa, bukan Papa dan Mbak Sekretaris. Kecuali kalau dipalsukan, sih. Oh, please! Hidup gue nggak sedrama sinetron Indonesia.

"Berkas daftar ulangnya udah mulai disiapin?"

The topic that I want to avoid so bad.

"Duh, Ma. Aku udah bilang nggak mau ambil..." Gue menggerutu sambil turun dari atas kasur dan langsung menghentakkan kaki ke ubin kamar. Bawaannya mau marah mulu kalau Mama sudah membahas masalah pendaftaran ulang.

"Itu untuk kebaikan kamu, sayang. Yang lain pada usaha bimbel sana-sini biar masuk sana. Kamu udah lulus SNMPTN juga harusnya bersyukur."

Aduh, gue bukan tipe orang yang memusingkan bagaimana mereka yang lainnya mempersiapkan diri masuk ke universitas. Terdengar egois? Selama itu nggak berhubungan langsung ke gue, maka selama itu pula gue akan bersikap masa bodoh.

"Aku kira bakal nggak lulus. Kemarin asal masukin fakultas juga," protes gue lagi sambil terus memasang tampang memohon ke Mama.

Teman-teman gue memang bilang SNMPTN itu dijadikan hoki aja. Ibarat tiket bonus, jangan terlalu berharap dengan SNMPTN. Lebih baik fokus pada persiapan tes tertulis. Gue jadi ingat kutipan popular remaja galau di media sosial, "nggak ada yang namanya PHP, yang ada itu lo terlalu berharap."

[1] STUNNING [New Version] Where stories live. Discover now