Prolog

91.5K 4.3K 62
                                    

Cahaya mentari yang menerpa wajahku membuatku menggeliat. Dengan enggan kubuka sedikit mata, lalu aku tersentak bangun. Astaga, kenapa aku harus bangun terlambat di hari sepenting ini!!

Aku nyaris melompat menuju kamar mandi yang menyatu dengan kamarku. Aku mandi secepat mungkin lalu mengeringkan badan asal-asalan. Dengan telanjang aku keluar kamar, toh tidak ada yang melihat, lalu segera mengenakan gaun yang untungnya, sudah kusiapkan sejak semalam. Gaun satin berwarna lembayung muda yang nyaris pink ini, ku beli khusus untuk acara ini. Potongannya sederhana tapi mampu menampakkan keanggunan ketika kukenakan. Di punggung dan dadanya berhiaskan manik-manik putih dan pink berpola indah.

Aku memakai make-up tipis, dan pemerah bibir yang warnanya senada dengan warna gaunku. Terakhir, aku memakai lotion dan parfum.

Sejenak aku berdiri di depan cermin besar untuk melihat penampilanku. Rencananya aku ingin merias diri habis-habisan untuk memikat calon suami. Tapi aku terlambat bangun. Walaupun terburu-buru aku sadar penampilanku saat ini amat memukau. Dengan tubuh sintal khas pedesaan dan tekstur wajah lembut alami yang kuwarisi dari ibuku serta mata hitam kecokelatan yang kuwarisi dari ayah, aku tergolong gadis yang memiliki fisik sempurna. Walau demikian, entah kenapa aku merasa gugup untuk menghadiri acara pertunangan ini.

Daerah kelahiranku ini masih tergolong penganut paham kuno walaupun teknologi sudah berkembang pesat di sini. Salah satunya menikah di usia muda. Aku sendiri tidak keberatan, malah menurutku menikah di usia muda bagi seorang wanita itu harus. Tapi aku memiliki prinsip bahwa pria yang akan menikah denganku merupakan pilihanku sendiri. Selama 17 tahun usiaku, prinsip itu amat kupegang teguh. Tapi 7 bulan yang lalu aku telah melanggar prinsip tersebut.

Aku berusaha mengembalikan ingatanku ke masa kini. Aku mengenakan sepatu hak tinggi untuk melengkapi penampilanku sebelum keluar kamar. Suara riuh di seluruh penjuru rumah membuat perasaan gugup melandaku. Aku rasa wajar karena yang kulakukan ini merupakan langkah besar mengingat pria yang sebentar lagi resmi menjadi tunanganku merupakan orang asing yang belum pernah kutemui.

Dua kali aku menarik nafas panjang untuk meredakan perasaan gugupku. Lalu aku melangkah ke dapur mencari ibu. Melihat suasana dapur orang pasti mengira akan ada pesta rakyat. Padahal acaranya cuma perkenalan dua keluarga plus pertunangan. Ibu tersenyum melihatku berdiri sambil mengerutkan kening di ambang pintu dapur.

"Cantik sekali putri Ibu!" Puji Ibu sambil memelukku. "Raymond pasti bangga memiliki calon pendamping seperti kamu." Tambahnya membuatku tersipu malu.

"Itu kan pendapat Ibu!" kilahku sambil melepaskan pelukan Ibu. Entah kenapa, tiap ada yang menyebut nama Raymond, jantungku pasti berdebar keras. "Tapi kita lihat saja nanti apa pendapatnya." Kataku cepat untuk memotong protes Ibu. "Jadi Dhea harus tunggu di mana?"

Ibu menyuruhku menunggu di ruang tamu. Aku segera ke ruang tamu dan duduk di salah satu sofa panjang. Menurut rencana, tempat ini yang akan dijadikan lokasi acara. Tapi sekarang di sini masih sepi karena seluruh kerabatku masih sibuk mendekor atau menyiapkan hidangan untuk membuat calon besan terkesan. Aku bisa memaklumi tingkah mereka karena keluarga Revaldo, calon besan kami, merupakan keluarga kaya yang cukup terpandang dan berkuasa.

Di saat seperti ini aku amat mensyukuri walaupun keluargaku tinggal di desa, tetapi kami masih termasuk keluarga yang berada sehingga orang tuaku memiliki sebuah rumah yang cukup megah yang bisa menampung seluruh keluarga besarku, yang jika ditotal, sama banyak dengan jumlah warga satu RT.

"Wah, yang mau dilamar cantik sekali!" Mbak Ria sepupuku, masuk ke ruang tamu bersama ibunya yang biasa kupanggil bude Mar. Aku tersenyum menanggapi pujiannya sambil berdiri dan mencium punggung tangan Bude Mar. Yah, itu salah satu kebiasaan orang Indonesia yang masih melekat.

Lelaki Misterius (TAMAT)Where stories live. Discover now