terperosok

7.9K 147 70
                                    

Mutiara Puncak Lawu
Jilid V bag 4

Keremangan cahaya matahari dilembah itu pelan namun pasti semakin menjadi gelap seiring sang surya tersebut semakin begeser ke arah barat. Sementara bayangan tubuh Ki Sarju lamat-lamat masihlah tampak diam dalam posisi duduk bersila bagai tak menghiraukan apapun disekitarnya.
Lambat namun pasti pula hawa dingin dilembah itu semakin terasa menusuk-nusuk tulang. Demikian putut Sungkana memutuskan untuk segera kembali menuju goa kecil itu. Akan tetapi belum akan beranjak pemuda itu menjadi terkejut mendengar satu suara memanggilnya,

"Kenapa kau disini Sungkana?"

"Kyai..." - - desis putut Sungkana ketika melihat seseorang yang tidak lain Ki Sarju itu tiba-tiba telah berdiri didekatnya.

Orang tua itupun tersenyum, - - "semestinya kau berbaring saja diatas dipan batu di goa itu sampai keadaan tubuhmu pulih benar" - - tukas orang tua itu.

"Maaf kyai, suara-suara aneh itu telah menuntunku sampai kesini" -- desis putut Sungkana

"Suara-suara aneh?"

"ya, suara-suara gaduh yang ternyata pekerjaan Ki Sarju sendiri" - - lanjut pemuda itu.

Orang tua itu kembali menyunggingkan senyumnya sambil berkata, -- "maaf ngger kalau aku telah mengganggu ketenangan istirahatmu.

" tidak Kyai, tidak ada yang salah, tentu tidak pada tempatnya jika aku harus terganggu berada di tempat milik kyai ini, apa lagi aku telah berhutang nyawa" -- tukas Sungkana kemudian.

"Jangan begitu ngger" - - potong Ki Sarju, - - "tentu aku akan menjadi seorang yang kaya raya jika menjadi pemilik lembah di gunung Lawu ini, dan sebenarnyalah tidak ada manusia yang pantas memiliki apa yang menjadi milik Sang Pencipta ini, kecuali hanya singgah sementara selama nafas kita masih mengalir dari dalam tubuh kita ini, artinya siapapun boleh dan punya hak yang sama berada ditempat ini, kecuali hanya satu yang menjadi sebuah larangannya, yaitu merusak"

"Trima kasih kyai" -- suara putut Sungkana lirih.

"Dan satu lagi ngger, tidak ada utang piutang nyawa diantara manusia, karna kembali lagi bahwa nyawa kita ini kepunyaan Sang Pencipta pula, karna aku tidak akan mampu menyelamatkanmu dari kebinasaan jika bukan atas ijin Sang Khalik jua" -- lanjut Ki Sarju.

Putut Sungkana hanya diam menunduk mendengarkan kata-kata orang tua itu sampai pada akhirnya menjadi sedikit terkejut ketika tangan orang tua itu menepuk bahunya, - - "marilah ngger, hawa akan menjadi semakin bertambah dingin, kita masuk ke goa kecil itu"

Demikian kedua orang berbeda usia itupun berjalan menuju goa kecil yang memang digunakannya sebagai rumah tempat mereka berlindung dari terpaan gejolak alam, baik hujan ataupun hawa dingin yang luar biasa.
***

Seruak cahaya matahari yang menelusup dicelah-celah dedaunan bagaikan ratusan garis-garis  putih perak menghunjam rerumputan yang terlindung oleh lebatnya pepohonan yang berdiri berjajar di area perbukitan sisi sebelah barat gunung Lawu itu. Pemuda berambut panjang tanpa ikat kepala itu nampak berdiri dengan tatapan matanya seperti menerawang jauh menembus lebatnya pepohonan, dan seakan-akan ingin menyibak segala kepekatan hutan bagai mencari pintu untuk membuka kembali perjalanan masa lalu yang pernah dilaluinya.

"Ayah,... Bagaimana keadaanya kini?" -- pemuda yang bukan lain adalah Teja Ndaru itu menarik nafas dalam-dalam.
Seperti yang telah dikisahkan didepan Ki Panji Adyaksa, salah seorang punggawa Kasultanan Pajang, ayah dari pemuda itu, telah menjadi korban dari persoalan diantara keluarga istana kasultanan Pajang yang melibatkan salah seorang putri kanjeng Sultan Hadiwijaya sehubungan kisah asmaranya dengan putera tunggal Tumenggung Mayang  beberapa tahun lalu. Hingga hubungan asmara keduanya itu telah dianggap satu aib bagi keluarga istana,  dan berakhir dengan kematian Raden Bagus Pabelan putera tumenggung Mayang itu

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Jan 15, 2017 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Mutiara Puncak LawuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora