Nineteenth Reason

2.9K 275 26
                                    

Teh di dalam gelas semakin dingin. Tangan masih tetap mengaduk, meski gula sudah larut. Tatapannya tak tentu arah, mengamati keadaan di luar. Gemericik hujan membasahi tanah, sama sekali tak memberi kesejukkan.

Lama dia duduk di depan jendela. Hanya menatapi kubangan air yang meluas, dedaunan basah semakin merunduk. Langit menggelap, dipenuhi awan kelabu. Terlihat orang-orang mulai menutup gorden rumah, menyalakan lampu, dan jalanan mulai sepi.

"Yas. Sebentar lagi azan magrib."

Suara Mama menggetarkan.
Yassar berbalik, menatap seorang wanita yang berdiri di depan pintu. Wajahnya dihiasi senyuman, matanya meneduhkan. Binar di mata Mama mirip sekali dengan Aisha.

"Kamu mbok ya jangan sedih terus. Kasian Icha di sana. Sudah tiga bulan, apa kamu belum ikhlas juga?"

Pertanyaan seperti itu yang selalu Yassar hindari. Selama ini dia terus berpikir, kenapa susah sekali mengikhlaskan adik satu-satunya. Padahal, ustaz Syamil sudah terus mengingatkan, begitu pun Nizar. Namun, tetap saja masih terasa sakit. Mengetahui kenyataan bahwa adiknya sudah tidak ada. Yassar ingin menyalahkan seseorang. Tapi, Papa bukan pihak yang harus disalahkan. Menyalahkan orang yang menabrak? Dia ingin. Tapi apa gunanya, itu tidak akan mengembalikan Aisha.

"Papa kemana?" tanyanya seraya beranjak dari tempat duduk.

"Masih ngantar pesanan, paling sebentar lagi pulang."

Yassar menghampiri Mama, meninggalkan teh di dalam cangkir yang masih utuh.

Perlahan, tangannya merangkul tubuh yang terbalut gamis cokelat. Dibawanya Mama ke dalam pelukan. Dia rindu memeluk adiknya seperti ini, setiap kali pulang kuliah.

"Susah, Ma. Aku kangen Icha," ucapnya lirih. Setetes air keluar dari sudut matanya.

Yassar membenamkan kepala pada pundak Mama. Dirasakannya usapan pada punggung, begitu hangat, sampai dia tak mau melepasnya.

Mama melonggarkan pelukan, ditatapnya Yassar yang mengusap mata.

"Sudah. Cepat ke masjid sana, mumpung belum azan. Nanti Mama mau ngobrolin hal penting."

"Ada apa, Ma?"

Mama menggeleng, kemudian mengibaskan tangan sebelum berlalu dari hadapan anaknya. Mama benar-benar paling bisa bikin penasaran.

Bagaimana bisa cinta pertamanya terlihat baik-baik saja, setelah sekian lama ditinggal anak gadisnya. Yassar merasa gagal menjadi kakak yang baik, kenyataannya dia belum bisa mengikhlaskan Aisha sepenuhnya. Seharusnya dia tahu, bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti. Tidak ada syarat usia tua di dalamnya.

Menjadi bahan perenungan tersendiri, ketika melihat kematian seseorang. Namun, ternyata tidak mudah menerima hal itu ketika berkaitan dengan orang tersayang. Selama ini, Aisha masih sering terbayang di dalam mimpi. Mengenakan pakaian serba putih, dengan senyum yang selalu bisa menggerakkan bibir untuk ikut tersenyum.

"Kenapa?" tanya Mama, ketika Yassar membuka pintu.

Mama sepertinya mendengar embusan napas kencang dari Yassar. Pasti sebentar lagi akan ada kata....

"Jangan mengeluh. Ada Allah. Harus kuat," ucap Mama tanpa menatap.

"Iya, Ma. Aku ke masjid dulu."

Senyuman muncul tepat ketika pintu ditutup. Mama selalu bisa menenangkan, entah bagaimana jadinya kalau wanita penuh kelembutan itu tidak ada. Dia bahkan tak ingin membayangkannya. Kehilangan Aisha sudah terlalu menyakitkan.

The ReasonWhere stories live. Discover now