Chapter Five

79 6 0
                                    

Sudah seminggu semenjak masuk pertama kali ke kelas. Dan sudah seminggu pula hujan datang setiap pagi.
Matahari tak pernah tersenyum lagi, begitu juga dengan J- Hope. Sejak kejadian dikelas aku membuka masker, dan sampai saat ini dia tak pernah mengajakku bicara. Ini hanya firasatku saja atau memang dia menjauhi aku?

Mobil yang kutumpangi menuju sekolah sudah hampir sampai. Tepat sebelum traffic light terakhir, aku melihat bangunan yang menjulang tinggi kokoh.
Aku teringat kayu putih bertuliskan 105.
Juga tombol dan dentingan angka 8.
Sebuah ruang kotak sempit dan kejutan hangat di tangan juga hatiku.
Hanya itulah yang bisa kuingat selama seminggu melewati bangunan ini.
Masih dengan keadaan hujan setiap pagi tanpa matahari.
Masih dengan keadaan hatiku yang terlanjur basah jatuh cinta pada sang mentari yang kini enggan muncul menyapa hariku.
Jalanan masih sama, begitu pula perasaan ini.
Banyak kendaraan berlalu lalang, tapi tak ada yang dapat merubah jalanan ini
Begitu pun perasaan ini, banyak tekanan selama delapan hari tujuh malam menerpa - tapi tetap sama.

"Pak, berhenti disini", kataku.

"Anda mau kemana nona? Diluar hujan deras".

"Pinggirkan saja mobilnya, aku akan berjalan dari sini".

"Tapi nona, saya harus mengantar anda sampai ke sekolah".

"Saya tau kau lelah Pak Shin, karena aku menyayangimu maka sampai disini saja lalu kau boleh pulang", aku menepuk bahunya lalu langsung keluar dari mobil dan berlari ke trotoar.

"Nona Jung! Hati- hati!", Pak Shin tampak khawatir padaku. Itu karena dialah yang mengabdi di keluarga ini sejak aku kecil, dan dia jugalah yang mengantar jemput aku.

Aku memutuskan berhenti disini bukan untuk berjalan hujan- hujanan ke sekolah, tapi aku ingin duduk di dalam kedai kopi kecil kesukaanku. Berharap secangkir caramel machiato bisa melepaskan bebanku.

Aku pun masuk ke dalam kedai kopi kecil ini, Kedai Kopi Songdae.
Kondisi kedai masih sepi, menyisakan dua orang yang mengantri. Aku pun menjadi orang ketiga yang berdiri disana, demi secangkir caramel machiato.

"Selamat pagi nona, ada yang bisa saya bantu?", sapa pelayan perempuan itu dengan ramah.

"Ah iya, caramel machiato hangat satu",

"Baiklah. Apa kau tidak terlambat sekolah nona?", dia tiba-tiba bertanya dan membuatku langsung menoleh ke sekitar.

"Eh? Tidak, aku sedang tak ingin kesana".

Kini dia mengambil uang yang kuberikan dan menyediakan segelas caramel machiato hangat. Dia tersenyum manis, siapa yang mengira bahwa gadis secantik dirinya menjadi seorang pelayan kedai kopi?

"Kau duduklah, aku akan mengantarnya", dia menyadari kalau aku berdiri mengamatinya sedari tadi. Aku sungguh tak sadar kalau aku melamun di depan meja kasir berwarna coklat ini.
Mencari spot nyaman untuk duduk dan bersembunyi dari penglihatan, mungkin kursi di ujung sana cocok untukku.

"Pilihan yang bagus",gumamku dalam hati.

Tak lama kemudian, si gadis itu muncul membawa sebuah cangkir hitam di bakinya sambil tersenyum.

"Ini dia, caramel machiato spesial anda nona".

"Tapi aku tidak memesan yang spesial?", jawabku bingung.

"Aku yang menambahkan spesialnya untukmu. Karena kau pelanggan yang tersisa saat ini", dia lalu duduk di depanku dan berpangku dagu.

"Kau tahu nona, ada seorang anak laki- laki yang sering datang kesini dan duduk di posisimu sekarang?", tanpa ada yang memberi ijin dia menceritakan apa yang ada dipikirannya. Ini bukan saatnya untuk mendengarkan cerita orang, terlebih aku tak suka mendengarkan.
Tapi aku hanya diam sambil menempelkan kedua tanganku pada cangkir kopi itu. Hangat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 28, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Drowned  ×NC×Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang