Ad Astra :: 8

2.8K 364 7
                                    

Stay in Memory - Yiruma•

7. Pada Langit Malam, Berjuta Kenangan Tersimpan

Aku memiliki asa, aku memiliki masa lalu, dan aku memiliki kamu. Tuntun aku, agar kelak pada peristirahatan, tanganmu ada dalam genggamku.

SUASANA kafe yang ramai sebenarnya tidak memungkinkan untuk menculik salah satu karyawan di sana. Namun setelah ia bertemu dengan manajer kafe dan meminta izin secara langsung, Bintang diperkenankan untuk meminjamnya sesaat.
            
Namanya Mbak Ana, pramusaji yang semalam membantu Bintang untuk memberikan roti dan cokelat hangat kepada Athaya.
            
"Athaya mulai kerjanya jam 3, Bin," ujar Mbak Ana. "Dia itu shift-nya jadi pengecualian. Yang lain kan digilir, kalau Athaya nggak. Dia selalu jam 3 sampai jam 9 malam. Terus Athaya kerja cuma sampai Jumat, libur dua hari, bonus sehari. Kayaknya, karena Athaya pelajar."
            
"Bagus deh, Mbak, biar nanti kalau udah dekat, bisa saya ajak malam Minggu-an." Bintang nyengir lebar, menampakan giginya yang tersusun rapi.
            
Mendengar celotehan Bintang, Mbak Ana tertawa, "Kamu suka, Bin, sama Athaya?"
            
Bintang menunduk, lalu tertawa kecil.
            
Melihat gerakan Bintang, Mbak Ana tersenyum, memaklumi, dirinya pun masih merasakan yang namanya kasmaran. "Athaya manis ya? Anaknya kelihatan nggak macam-macam, pendiam."
            
Bintang mengangguk setuju, "Susah, Mbak, dideketinnya."
            
"Oh ya?" Mbak Ana tertawa. Sebenarnya Mbak Ana bukan menertawakan perkataan Bintang, tetapi ia menertawakan raut wajah Bintang. Laki-laki itu menekuk bibir bawahnya, lalu mengangguk kencang-kencang.
            
"Waktu itu saya pernah bilang yang kayak saya bilang semalam ke Mbak Ana, kalau dia calon saya. Tapi dia diam aja dengan muka bingung. Greget. Lucu sih, gemesin, Mbak, ya ampuuuun." Bintang-nya keluar. Suka gampang banget dekatnya kalau ketemu orang baru. Padahal Bintang baru berkenalan secara resmi dengan Mbak Ana tadi, tetapi laki-laki itu dapat dengan baik mengendalikan suasana menjadi nyaman. Mbak Ana jadi turut senang berbincang dengan Bintang.
            
"Suka beneran kamu, Bin, sama Athaya? Dia kan murid baru juga di sekolah kamu."
            
Bintang diam. Berpikir.
            
"Mikir ya kamu, Bin?" Mbak Ana kembali bertanya setelah Bintang tidak menjawab dalam beberapa saat.
            
"Iya. Tapi sekarang udah dapat jawabannya. Saya suka beneran, Mbak, sama Athaya. Saya agak susah gitu suka sama cewek, jarang banget yang namanya ngincer cewek," aku Bintang, diakhiri tawa kecil.
            
Mbak Ana menyeringai, "Kalau suka sama cowok gampang, Bin?"
            
Siulan keluar dari bibir Bintang, disusul dengan anggukan, "Yoa."
            
"Lucu banget sih, Bin."
            
"Saya serius lho, Mbak."
            
"Terserah!"
            
Bintang tersenyum. Senyum yang membuat matanya turut melengkung.
            
"Athaya jangan dimainin, Bin. Semenjak dia kerja di sini, saya udah nganggap dia adik. Anak baik-baik dia, Bin. Jangan dirusak, apalagi hatinya. Susah kalau udah patah. Biasanya model kayak Athaya, sekalinya jatuh cinta, ya dalam."
            
Bintang terdiam dalam waktu yang cukup lama, ucapan Mbak Ana tadi seolah memberi peringatan juga kepadanya. Bintang juga membenarkan kata-kata Mbak Ana. Melihat dari raut wajah juga gerak-gerik Athaya selama ini, Bintang dapat melihat bahwa Athaya tipe anak yang lebih banyak diam, dan dari setiap senyum yang Bintang dapatkan dari Athaya, Bintang tahu bahwa ada ketulusan di senyum yang sederhana itu.

***

Kamar dengan nuansa merah muda itu kini tengah menjadi saksi bisu dari perbincangan dua orang perempuan yang tengah berbaring di atas kasur yang ada di tengah ruangan.
            
"Lo pindah ke Jakarta sebenarnya kenapa sih, Tha?" Riri bertanya, mengubah posisi tidurnya yang semula terlentang jadi tengkurap menghadap Athaya.
            
Berbeda dengan Riri, Athaya sama sekali tidak mengubah posisinya. Gadis dengan rambut panjang itu tetap diam, matanya memandang langit kamar Riri. "Ada sesuatu yang ngebuat aku nggak bisa tetap tinggal di Bandung, Ri."
            
"Masih belum bisa cerita ke gue ya, Tha, tentang sesuatu itu?" tanya Riri dengan nada suara sedikit lirih.
            
Athaya akhirnya menoleh kepada teman barunya itu, gadis itu tersenyum, "Maaf ya, Ri. Belum sekarang."
            
Riri memaklumi. Ia baru mengenal Athaya, mungkin nanti, ketika Athaya sudah benar-benar nyaman dengannya, Athaya akan dengan sendirinya menceritakan itu kepadanya.
            
Teringat sebuah topik yang sepertinya lebih menyenangkan, Riri langsung bangkit dari posisi tengkurapnya. Gadis dengan rambut lurus di bawah bahu itu duduk bersilang. Matanya berbinar, senyumnya tiba-tiba merekah.
            
"Menurut lo Ata gimana, Tha?"
            
Athaya mengerutkan alisnya, tidak tahu mengapa Riri tiba-tiba membahas Bintang, "Baik."
            
"Ganteng nggak, Tha? Ganteng ya, Tha..."
            
Athaya mengangguk, "Dia kan cowok."
            
Sewaktu-waktu Riri tidak dapat membedakan sesuatu yang menyebalkan dengan sesuatu yang berjalan lurus. Jawaban Athaya tadi, sepertinya lebih condong menyebalkan. Membuat Riri meniup poni yang menutupi bagian keningnya dengan kesal. "Kata lo dia ganteng ngga, Tha? Pinter dikit, Tha, jawabnya. Layaknya cewek SMA," celetuk Riri, bentuk dari antisipasi akan jawaban Athaya.
            
Athaya ikut duduk, menghadap Riri.
            
"Ganteng. Aku suka daerah mata dia. Warna mata, alis, dan bulu matanya. Warnanya pada pekat gitu, tegas, sedikit kayak orang Timur iya nggak sih? Hidungnya juga..." ujar Athaya, matanya menatap ke langit-langit kamar, seolah membayangkan sosok Bintang.
            
Riri menjentikkan jari telunjuk dan jempolnya, "Benar banget! Tapi dia orang Indonesia asli sih, Tha. Kalau senyum ganteng banget ya, Tha? Kayak ada power dan dampaknya gitu senyum si Ata."
            
Athaya tertawa mendengar celetukan Riri. Senyuman Bintang berpower dan berdampak? Gimana tuh maksudnya? Athaya baru mengetahui hal sejenis itu. Eh, tidak juga, dulu, ada senyum seseorang yang selalu berdampak padanya, sampai sekarang pun, senyum itu berdampak. Membuat Athaya sedikit meredakan tawanya ketika mengingat hal itu.
            
"Lo punya Instagram nggak, Tha?"
            
Athaya mengangguk, "Tapi udah lama nggak dipake."
            
"Lo follow Ata deh, Tha. Fotonya bagus-bagus banget. No selfie. Isinya foto langit, gunung, foto dia dari belakang yang jadi kayak siluet gitu lho, Tha, gue nggak ngerti namanya apa. Terus banyak kayak foto-foto aktivitas orang-orang yang dia ambil alami gitu, Tha, tapi hasilnya gila jadi keren banget," tutur Riri panjang dengan semangat.
            
Binar mata Athaya berubah, "Oh iya?"
            
"Iya, Tha... Dia di sekolah ambil ekskul softball sih bukan fotografi, tapi dia jago pegang kamera. Ada dua foto yang paling gue suka. Yang pertama foto langit malam, bintang di langit penuh, Tha, gue yakin foto itu diambil di kota yang langitnya masih bersih banget. Yang kedua, foto anak-anak di pedesaan yang lagi pada main, Tha, gue nggak tahu itu permainan apa, yang jelas semua dari anak-anak itu kalau nggak lagi nyengir, ya lagi mangap teriak gitu. Terus si fotonya pake efek fade gitu. Kece abis gila tuh cowok." Riri sudah beberapa kali menepuk tangannya selama bercerita, matanya membara, menunjukkan semangatnya.
            
Athaya sempat terdiam dulu untuk mencerna ucapan Riri, "Kok kamu bikin Ata jadi keren banget sih, Ri?"
            
"Iiiih, dia keren beneran! Cuma emang sih gue kalo cerita suka agak lebay."
            
Athaya tertawa.
            
"Follow deh, Tha, pasti lo kagum sih gue yakin banget," perintah Riri.
            
Athaya tersenyum, lalu menggeleng, "Aneh banget kali kalau aku tiba-tiba follow dia."
            
"Nggak lah, Ata pasti langsung followback deh kalau lo yang follow," ujar Riri dengan percaya diri.
            
Athaya hanya menggeleng pelan, tidak menanggapi lebih. Gadis itu lantas melirik jam yang tergantung di tembok kamar Riri dan melihat jam sudah menunjukkan pukul dua. Satu jam lagi ia harus bekerja. Ini hari Jumat, Athaya memutuskan untuk ikut ke rumah Riri sambil menunggu waktu kerjanya.
            
"Ri, udah jam dua. Aku pulang ya?"
            
Riri mengerutkan keningnya, "Kok buru-buru sih, Tha? Besok kan Sabtu, nanti aja pulangnya," pinta Riri.
            
Athaya memang tidak menjelaskan banyak hal tentang dirinya kepada Riri. Athaya hanya menceritakan hal-hal yang perlu diketahui seorang teman biasa. Sebenarnya, jika dibentuk dalam kata, sepertinya Riri memang tidak mengetahui apa-apa tentang Athaya. Bukannya Athaya menganggap Riri tidak penting atau bagaimana, justru Athaya menganggap Riri adalah satu-satunya teman yang cukup dekat dengannya di sekolah baru. Namun Athaya memang tidak begitu suka menjelaskan tentang dirinya, menurut Athaya, waktu akan menguak banyak fakta dengan sendirinya.

Ad AstraWhere stories live. Discover now